Wiji Thukul: Aku bukan artis pembuat berita, tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa. Puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. [...]
Norman Adi Satria: Jangankan anak-anak, kulkas, tv, mesin cuci, setrika, bpkb motor, handphone china, dan cincin kawin pun kami sekolahkan, setinggi-tingginya. [...]
Norman Adi Satria: Ia membuka laci gerobaknya, dua lembar duit merah bergambar perahu layar menyapa. "Masih jauh untuk menuju Pak Harto, Nak." ucapnya. [...]
Wiji Thukul: Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku: sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam, tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama. [...]
WS Rendra: Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka. [...]
Norman Adi Satria: Kebaikan telah membuat papamu kaya raya, punya mobil mewah. Besok kita pelesir ke Jogja lalu ke Bali. Minggu depan kita ke Disneyland. [...]
Norman Adi Satria: Kami kira baru kemarin kami bertukar cincin. Padahal sudah sejak lama juga cincin itu ditukar dengan beberapa liter beras, lima kardus mi instan, dua kaleng susu, dan tiga lembar sempak baru. [...]
Wiji Thukul: Siapa mau disamakan dengan tikus, didudukkan di kursi terdakwa, dituding tuan jaksa ingin menggulingkan negara hanya karena berorganisasi dan punya lain pendapat? [...]
Wiji Thukul: Di pinggir jalan berdiri toko-toko baru dan macam-macam bangunan. Kampung kami di belakangnya, riuh dan berjubel seperti kutu kere kumal. [...]
Wiji Thukul: Jika kautahan kata-katamu, kau akan diperlakukan seperti batu, dibuang, dipungut. Atau dicabut seperti rumput. Atau menganga, diisi apa saja menerima. [...]
Wiji Thukul: Sandal jepit dan ubin mengkilat. Betapa jauh jarak kami. Uang sepuluh ribu di sakuku, di sini hanya dapat dua buku. Untuk keluargaku cukup buat makan seminggu. [...]
Wiji Thukul: Seperti tanah lempung pinggir kampung, masa laluku kuaduk-aduk, kubikin bentuk-bentuk, patung peringatan. Berkali-kali kuhancurkan, kubentuk lagi. Patungku tak jadi-jadi. [...]
Wiji Thukul: Pulanglah, Nang. Jangan dolanan sama Si Kuncung. Si Kuncung memang nakal, nanti bajumu kotor lagi disirami air selokan. Pulanglah, Nang. Nanti kamu menangis lagi. [...]