Puisi Kebangsaan
Kumpulan Puisi Kebangsaan, Patriotik, dan Nasionalis Terbaik 2016.
Norman Adi Satria: Begitu banyak identitas temporal yang kita sandang sehari-hari, termasuk sebagai pendukung Prabowo atau Jokowi. Sayangnya kita kerap lupa identitas permanen yang kita sandang: sebagai manusia, sebagai bangsa.
[...]
Norman Adi Satria: Miris, teramat miris. Minuman keras yang Kartini harapkan takkan menjangkiti kaum Bumiputra justru diduga sebagai penyebab kematiannya. Kartini tewas 4 hari pasca melahirkan putra tunggalnya, Soesalit Djojoadiningrat. Di hari keempat pasca melahirkan itulah, Kartini diajak minum anggur oleh dokter yang membantu persalinannya, Dr. van Ravesten, sebagai tanda perpisahan.
[...]
Wiji Thukul: Bulan malam menggigit batinku. Mulutnya lembut seperti pendeta tua mengulurkan lontaran nasibmu.
[...]
Norman Adi Satria: PermotoGPan F1! Perhompimpahan pingsut! Perpoco-pocoan breakdance! Percherrybellean JKT48
[...]
Norman Adi Satria: Lihat perang itu! Bukankah itu upaya menciptakan hening?
[...]
Ir. Soekarno: Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
[...]
Norman Adi Satria: “Merah darahku, putih tulangku!” Teriakkan itu, rasakan kibarnya di sekujur raga jiwamu.
[...]
Norman Adi Satria: Puisi memang air jernih yang menyejukkan, puisi bukan air kobokan untuk mencuci tangan.
[...]
Norman Adi Satria: Surga itu kerajaan, Bung! Bukan republik. Rajanya tidak dipilih lima tahun sekali dengan main sikat dan sikut. Ia abadi.
[...]
Norman Adi Satria: Sajakku tak perlu dibacakan lagi kecuali tentang cintaku kepadamu, ibumu, dan Ilahi.
[...]
Norman Adi Satria: Bendera mengingatkan kami pada Yesus, di tiang salib. Merah darahnya, putih tulangnya menganga.
[...]
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Ingat Pancasila, ingat Idul Adha. Aneh, apakah karena pesta pengorbanan? Apakah karena di bumi Pancasila ini makin sedikit orang yang mau berkorban, makin banyak orang yang mengorbankan orang lain?
[...]
Norman Adi Satria: Mbah Hukum, sudah dipalu berkali-kali, meja keadilannya kok goyang lagi goyang lagi? Opo sudah reyot? Opo mesti diganti?
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Apalah kemudian arti persatuan tanpa kemajuan? Kan tinggal jadi kelompok dengan bulu sama?
[...]
Fania Eva Saputri: Apakah mereka sampah Negara? Atau tikus-tikus pemakan sumberdaya?
[...]
Sapardi Djoko Damono: Kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu.
[...]
WS Rendra: Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri.
[...]
WS Rendra: Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.
[...]
Norman Adi Satria: "Ada kabar baik: kita dapat berita buruk!" teriak wartawan riang gembira di ruang redaksinya.
[...]
Wiji Thukul: Istirahatlah kata-kata. Jangan menyembur-nyembur orang-orang bisu.
[...]
Wiji Thukul: Partai politik, omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang. Bubarkan saja itu komedi gombal.
[...]
Norman Adi Satria: Tentu penyair punya perannya sendiri dalam membangun bangsa meski hanya dengan sehelai syair.
[...]
Norman Adi Satria: Sebenarnya kau adalah kaum yang paling minoritas karena mayoritas rakyat kita adalah kaum yang menghargai perbedaan.
[...]
Norman Adi Satria: "Adi, ajak dong aku ke Senayan!" - "Wah maaf, Cong, syarat jadi anggota dewan bukan hanya sekedar kawan."
[...]
Norman Adi Satria: Mengapa merasa sudah bersatu setelah mendepak bagian dari persatuan?
[...]
Chairil Anwar: Mencucuk menerang hingga belulang. Kawan, kawan, kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
[...]
WS Rendra: Kepada kamu aku bertanya: mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan, apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?
[...]
WS Rendra: Janganlah kita menunggu Ratu Adil. Ratu Adil bukanlah orang. Ratu Adil bukanlah lembaga. Ratu Adil adalah.....
[...]
Norman Adi Satria: Bukankah belajar seharusnya menjadikan kita pinter? Kok malah ujungnya jadi Hater?
[...]
Sapardi Djoko Damono: Rumahku akan dibongkar, tetapi kamarku tetap ada di sana.
[...]
WS Rendra: Ia bicara panjang lebar kepadamu tentang perjuangan nusa bangsa dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal ia sebut kau inspirasi revolusi sambil ia buka kutangmu.
[...]
WS Rendra: Wahai, tanah yang baik untuk mati! Dan kalau kuterlentang dengan pelor timah, cukillah ia bagi putraku di rumah.
[...]
Norman Adi Satria: Negeri sedang kisruh, kau masih sibuk dengan misteri embun di ujung daun?
[...]
Norman Adi Satria: Mereka sudah muak dengan keadaan. Mereka keracunan janji-janji kesejahteraan.
[...]
Norman Adi Satria: Belajar memahami kata-kata: "Apakah kita siap untuk hidup sederhana?" Itu artinya kita harus siap nelangsa!
[...]
WS Rendra: Ada janda kembang. Ia buntung, tak jelas lelakinya. Para tetangganya bernyanyi menyindir-nyindir setiap hari. Lalu kepala desa datang menghibur, tapi tak urung menidurinya juga.
[...]
WS Rendra: Segala macam salah ucap bisa dibetulkandan diterangkan. Tetapi kalau senjata salah bicara luka yang timbul panjang buntutnya.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Di beberapa negeri, bahasa asing milik bekas penjajah terpaksa harus dipergunakan sebagai semacam bahasa persatuan sebab di negeri yang bersangkutan tidak pernah ada kesepakatan yang bulat untuk mempergunakan salah satu bahasa yang ada sebagai bahasa persatuan.
[...]
Norman Adi Satria: Generasi kita telah menjadi pengagum sawah, yang takjub pada menguningnya padi namun tak sudi bertani.
[...]
Norman Adi Satria: Dalam bicara merah darah terbayangkankah ngerinya darah yang tertumpah? Dalam teriak putih tulang terbayangkankah ngilunya daging yang terkelupas hilang?
[...]
Norman Adi Satria: Seharusnya kita penasaran apa yang terjadi ketika daun talas ada di atas air?
[...]
Sujiwo Tejo: Di negeri Jancukers semua tempat adalah smoking area sebab asap rokok bisa ngeles dari hidung bukan perokok.
[...]
Sujiwo Tejo: Pelantikan presiden sebaiknya outdoor. Sumpah jabatannya dinaungi oleh payung kaum umbrella girl.
[...]
Sujiwo Tejo: Tidak Pancasilais itu membuat toilet, tapi tak dilengkapi semprotan.
[...]
Sujiwo Tejo: Lho, dianggapnya me-retweet itu tidak bekerja, to. Setidaknya jempol kita kan aktif? Daripada empol itu pensiun oleh karena sudah lama tak ada yang patut dijempoli.
[...]
Sujiwo Tejo: Sariwati bilang pukul 2.00 pagi. Pukul 2.00 pagi? Gareng kaget. Sergahnya, "itu syuting apa mau shalat istikharah?"
[...]
Cak Nun: Tanah itu bukan milik Pandawa maupun Kurawa. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana?
[...]
Mohammad Yamin: Tiada bahasa, bangsa pun hilang.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Jaman modern bukan dibangunkan dalam tidur dengan impian.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Kau sudah diajari penyakit Eropa, Nak, penyakit untuk mendapatkan segala-galanya buat dirinya sendiri.
[...]