Sapardi Djoko Damono: Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin memainkannya. Ia barulah layang-layang jika melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin. [...]
Norman Adi Satria: Ia membuka laci gerobaknya, dua lembar duit merah bergambar perahu layar menyapa. "Masih jauh untuk menuju Pak Harto, Nak." ucapnya. [...]
Sapardi Djoko Damono: Ia tak pernah sempat bertanya kepada dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu. [...]
Sapardi Djoko Damono: Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri. [...]
Joko Pinurbo: Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai kata-kata dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya. [...]
Norman Adi Satria: Anak itu berangkat dengan berseragam. Di tengah jalan dia ganti kaos, bersama kawan-kawannya bolos, pergi ke Dufan untuk main pesawat-pesawatan
dan melihat badut. [...]
Joko Pinurbo: Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-aku sebagai ayah saya. Sayang, saya tak butuh pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia. [...]
Norman Adi Satria: Nak, membacakan puisi tak perlu melulu bergelora. Bacalah seperti biasa namun dengan sepenuh jiwa. Karena pendengar puisi bukanlah telinga namun hati. [...]
Norman Adi Satria: Anak asu menguburkan tulang ibunya, sayang dia belum sempat diajari berdoa. "Mama, selamat jalan." Air matanya menetes di atas kuburan. [...]
Norman Adi satria: Dia menyaksikan aku tengah membelah kepala membelah dada, menyatukan isi dalam keduanya dan meletakkannya pada selembar kertas. [...]
Norman Adi Satria: Kata, lebih dari dari ratusan kini anakmu: puisi-puisi lucu hingga yang memilih kabur dari rumahku, mungkin untuk mencarimu, ibunya. [...]