Normantis The Deposed
Official Website of Normantis The Deposed
Norman Adi Satria: Karena yang telah menjadi puisi pasti abadi.
[...]
Saf Rin Karim: Karna hanya di mataku mendung selalu mampu merintik beribu sendu.
[...]
Norman Adi Satria: Nostalgia memang tak butuh pemuktahiran kerna bisa membuatnya batal menjadi klasik.
[...]
Norman Adi Satria: Oh, betapa kotor dan baunya yang keluar dari lubang-lubang tubuhku. Ucapku tak bisa lagi masuk ke mulut, sebagaimana kotoran yang tak kembali ke perut.
[...]
Norman Adi Satria: Menulisnya sebagai kisah hanya membuatku kembali amatir.
[...]
Norman Adi Satria: Ah, mantan. Jika takut CLBK dan balikan, haruskah kita saling bermusuhan?
[...]
Riska Cania Dewi: Mawar yang pergi kini kembali, mengunjungi tangan yang dulu menggenggamnya. Terimakasih kau telah sudi bertanya tentang bagaimana kabar tangan ini?
[...]
Saf Rin Karim: Dan kau terjerembap di dunia yang kian biadab di mana hidup tak harus beradab, untuk memaki kau tak perlu sebab.
[...]
Norman Adi Satria: Haus akan cinta takkan bisa diredakan dengan aqua, teh sisri, jas-jus, ale-ale, fanta, coca cola, sprite, apalagi mijon.
[...]
Seno Gumira Ajidarma: Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.
[...]
Putu Wijaya: Heran aku, Ibu ini kok keterlaluan! Pencuri sudah maling jambangan bunga, malah dirawat, dikasih makan dan pakaian, aku disuruh minta maaf lagi. Nanti apa kata tetangga kita?!!!
[...]
W.S. Rendra: Saya mempunyai teman sepemondokan yang bernama Aman, tetapi karena ia seorang peribut maka ada orang memanggilnya "Pengacau", dan karena ia pendek maka ada orang yang menamakannya "si Pendek", kecuali itu karena mukanya penuh dengan jerawat maka ada juga yang menyebutnya "si Jerawat".
[...]
W.S. Rendra: Dan kita disini bertanya: “Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?”
[...]
Norman Adi Satria: Bahwa kerut di dahiku adalah bekas memikirkanmu. Bahwa keriput di pipimu adalah sisa senyuman palsu.
[...]
Norman Adi Satria: Berkawan secangkir kopi masa lalu, kuhirup kembali sebatang cintamu, candu. Hingga terbatuk-batuk aku, berdahak rindu
[...]
Mohammad Sya'roni: Ku takkan menyerah mengejar mimpi walau badai kehidupan melempar diri ini ke lautan putus asa dan malas diri.
[...]
Arswendo Atmowiloto: Sesungguhnyalah suamiku adalah jam dinding, dan aku bahagia jatuh cinta padanya.
[...]
Seno Gumira Ajidarma: Apakah aku, sebagai manusia biasa, masih bisa mencintai kekasihku, jika kekasihku itu telah menjadi komodo?
[...]
Seno Gumira Ajidarma: Ah, pasti dia! Dasar! Apa sih yang tidak ingin ditelannya dari dunia ini? Apakah dia makan rembulan itu?
[...]
Seno Gumira Ajidarma: Aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa.
[...]
Sujiwo Tejo: Butir-butir air mata. Bilas dengan bahak tawamu hahaha. Karna keputusasaan manu Sia sia sia sia sia sia
[...]
Norman AdI Satria: Sebagai wartawan, saya lebih banyak bertanya daripada menuliskan berita. Karena di ini negeri berita adalah sari yang sudah disaring
dalam saringan bungkam yang celahnya kecil sekali.
[...]
Norman Adi Satria: Cobalah tengok dua lalat yang mengambang di cangkir kopiku, lalu telaah mengapa mereka mati, apakah sebuah pilihan atau sebuah takdir?
[...]
Norman Adi Satria: Terlepas dosanya akan diampuni atau tidak itu hak mutlak Tuhan. Romo hanya bisa bilang: semoga, umat hanya menjawab: amin.
[...]
Norman Adi Satria: Selalu ada degradasi makna dari gendut. Berawal dari imut, berakhir dengan ndut.
[...]
Norman Adi Satria: Kita akan sama-sama tidur di dalam kepompong malam, menanti musim semi
[...]
Norman Adi Satria: Rembulan tidak menangis saat kamu tinggal tidur
[...]
Norman Adi Satria: Cawan Socrates berisi racun, cawan Kristus berisi anggur, mereka minum sebelum pesta kematian
[...]
Norman Adi Satria: Pulangkan cinta ke kampung halamannya, nurani.
[...]
Norman Adi Satria: Kita tak hanya perlu hakim dan penegak hukum bertelinga ultrasonikn namun juga yang berpendirian seperti walet
[...]
Norman Adi Satria: Gerakan-gerakan terdahulu hanya bergerak bagai spora, menyebar lalu buyar atau kabur ketika Sang Jendral gugur.
[...]
Norman Adi Satria: Mengapa hanya hampa yang ada meski di situ masih ada aku
[...]
Norman Adi Satria: Ketika aku marah, kau tampak seperti babi bulat hijau yang cengar-cengir di mainan Angry Bird
[...]
Norman Adi Satria: Tinggal aku hormat pada bendera kertas kecil yang berkibar di tiang tusuk gigi
[...]
Norman Adi Satria: Aku hanya tak ingin ada hipertensi kalbu atau diabetes cinta yang mampu merusak asmara kita
[...]
Norman Adi Satria: Kala kau dimabuk cinta, pepohonan dan segalanya yang berharga seakan serupa dia
[...]
Norman Adi Satria: Rindu dan Lindu yang tertambat bisa meledak jadi bom waktu
[...]
Norman Adi Satria: tongkat kayu di ujung jemari lelaki yang berdaulat mengatur simfoni
[...]
Norman Adi Satria: Aku hanya rintik gerimis yang kau sinari
[...]
Norman Adi Satria: Ada kasih yang tak bertuan. Pemiliknya adalah seorang tuan yang tak lagi bernyonya
[...]
Norman Adi Satria: Aku hanya ingin berperang melawan diriku sendiri. Lawan dari segala lawan yang tersulit ditaklukkan
[...]
Norman Adi Satria: Bila tujuh dikalikan tiga menjadi dua puluh satu, kubersimpuh mengakui Kau bukan tiga namun satu
[...]
Norman Adi Satria: Ada mata-mata bersembunyi di balik matamu
[...]
Norman Adi Satria: Nampaknya memang ada kasta antara vagina dan dubur
[...]
Norman Adi Satria: Bebek karet cuma mainan anak-anak yang belajar mandi. Bila sudah bosan tak berguna lagi.
[...]
Norman Adi Satria: Jemari lentik mendung memetik awan yang ranum namun hujan tak jua datang. Benarkah kematangan awan bukan lagi jaminan untuk sekedar gerimis?
[...]
Norman Adi Satria: Akulah karang, kau kalsium. Tanpamu aku rontok berurai saat ombak menerjang.
[...]
Norman Adi Satria : Tangis bayi teredam keranjang anyaman, tertutupi gemericik air yang menghempas batu. Namun Ibu mengerti betul anaknya minta susu.
[...]