Normantis The Deposed
Official Website of Normantis The Deposed
Norman Adi Satria: Dulu ketika aku melukaimu, kamu menangis di pundak siapa?
[...]
Norman Adi Satria: Bilang saja pada mereka: ayahku sangat egois dalam hal duka. Ia tak ingin membagi secuilpun dukanya kepada orang lain.
[...]
Wiji Thukul: Tapi satu mana lengkap tanpa yang pecah. Maka aku pun rela jadi sepersekian dari keutuhanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Agamanya memang benar mayoritas, tapi sebagai orang bengis mereka adalah minoritas!
[...]
Norman Adi Satria: Kerna kutukan ibu adalah doa dan kedurhakaan anak adalah aniaya.
[...]
Norman Adi Satria: Miris, teramat miris. Minuman keras yang Kartini harapkan takkan menjangkiti kaum Bumiputra justru diduga sebagai penyebab kematiannya. Kartini tewas 4 hari pasca melahirkan putra tunggalnya, Soesalit Djojoadiningrat. Di hari keempat pasca melahirkan itulah, Kartini diajak minum anggur oleh dokter yang membantu persalinannya, Dr. van Ravesten, sebagai tanda perpisahan.
[...]
Norman Adi Satria: Tidak sedikit omongan semena-mena yang berniat durjana sengaja dilabeli "puisi" lengkap dengan tipografinya supaya terhindar dari problema.
[...]
Norman Adi Satria: Saya tidak mau mengkomersilkan karya yang tidak bisa ternilai dengan Rupiah, karena dengan puisi-puisi itulah saya beribadah.
[...]
Norman Adi Satria: Yang melongok dari tepian menyebutnya jurang yang teramat dalam. Yang tengadah di dasar menyebutnya tebing tinggi yang teramat curam.
[...]
Norman Adi Satria: Jika Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi, aku hanya ingin bertanya padamu...
[...]
Norman Adi Satria: Satu-satunya yang ia mengerti: ia mencintai penyair ini bukan karena puisi
[...]
Norman Adi Satria: Konsekuensi dari yang tak terhitung adalah akan banyak yang terlupakan.
[...]
Norman Adi Satria: Ada tulang yang patah tengah malam dan pagi telah menjadi kamu.
[...]
Norman Adi Satria: Pada akhirnya aku belajar pada para oknum pejabat dan politikus: menghalalkan segala cara untuk melupakanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Ini bukan soal darah dari selaput dara yang pecah namun tentang kesucian yang mesti kau jaga sebagai anugerah.
[...]
Wiji Thukul: Bulan malam menggigit batinku. Mulutnya lembut seperti pendeta tua mengulurkan lontaran nasibmu.
[...]
Wiji Thukul: Beri-berilah aku ketajaman untuk membutakan mataku.
[...]
W.S. Rendra: Zaman sekarang orang tak menghargai kejantanan lagi. Orang hanya menghargai kelicikan.
[...]
La Ode Muhammad Jannatun: Sebelum lupamu benar-benar berlalu. Sebelum akhirnya namaku menjadi abu.
[...]
Norman Adi Satria: Baru pindah agama, tiba-tiba ia menjadi pemuka dengan modal hanya dua: dendam pada agama yang lama dan beberapa cuplikan ayat yang baru saja ia baca.
[...]
Norman Adi Satria: Sudah kuduga, usai kau bertanya apa kabar dan kujawab baik-baik saja, kau bakal berairmata.
[...]
Norman Adi Satria: Aku telah kehilanganmu. Haruskah aku kehilangan bayangmu pula?
[...]
Norman Adi Satria: Jangan tanyakan pada bibirku. Selamanya ia akan mengutuki kepergianmu. Jangan tanyakan pada kakiku. Selamanya ia akan menolak menempuhi jalanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Mengucap terserah adalah hak wanita yang paling asasi dan peka adalah kewajiban lelaki yang paling hakiki.
[...]
Norman Adi Satria: Kau ikeh ikeh sebelum kimochi.
[...]
Norman Adi Satria: Banyak penyair yang berkeinginan puisinya dapat membuka mata para pembaca. Puisi saya justru ingin pembacanya menutup mata.
[...]
Norman Adi Satria: Demikianlah, dari zaman Daud hingga Elisa, beruang jadi kengerian. Namun Nabi Yesaya tiba-tiba bernubuat bawasanya akan tiba suatu masa di mana lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput.
[...]
Norman Adi Satria: Mbah Kakung tidak pilah pilih ayat saat membaca. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya mau membaca ayat sukacita.
[...]
Norman Adi Satria: Apa cincin kawin itu kita tukar saja dengan beras? Bukankah menghindarkan kekasih dari busung lapar lebih pantas disebut tanda cinta ketimbang logam yang melingkar di jemarinya?
[...]
Norman Adi Satria: Sesungguhnya aku pun tidak tahu pasti harus disebut apa kamu ini, protagonis namun selalu menyakiti.
[...]
Cak Nun: Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kaumencinta itu dan bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Kesederhanaan itu sekarang mahal harganya. Bahkan lebih prestisius daripada kemewahan.
[...]
Norman Adi Satria: Persinggahan itu kini telah menjadi pulangmu. Sedang aku di sini masih menganggapmu pergi.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Malam ini Puteri Salju, kemarin Bawang Putih, besok Sinderela, ya Bu. Biar Pangeran datang menjemputku.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Ada yang sedang menyanyikan beberapa ayat kitab suci yang sudah sangat dikenalnya tapi ia seperti takut mengikutinya.
[...]
Norman Adi Satria: Apa yang lebih sedih daripada puisi? Tanyakan pada penyair apa yang tidak ia tulis di dalamnya.
[...]
Norman Adi Satria: Kristenisasi bahkan takkan membuatmu jadi Kristen! Karena yang Kristen saja tak Kristen-Kristen amat. Hari ini ke gereja, besoknya kumat
[...]
Norman Adi Satria: Suamiku ini penyair KW berapa sebenarnya? Makin banyak bikin puisi malah makin sengsara?
[...]
Norman Adi Satria: Apakah tentang segalamu aku tak boleh lagi, semacam dukacitamu yang tak usah lagi kutangisi, seperti doamu yang jangan sampai kuamini?
[...]
Indra Lesmana: Meskipun terluka berpuluh kali aku akan tetap seperti ini padamu. Namun jangan sampai otakmu punah dibuatnya.
[...]
Kiaara: Selamat malam, bulanku, muara sajak tertimbunku. Detik ini, percayamu berjeda. Pun percayaku jadi angkara.
[...]
Sujiwo Tejo: Tabahlah seperti perempuan, saban hari memandikan anak, tapi tak pernah mereka menuntut adanya mesin cuci anak.
[...]
Norman Adi Satria: Yang kau dengar: terima kasih ya atas masukannya. Yang sesungguhnya ingin kuucap: sok tahu lu, kadal bunting!
[...]
Norman Adi Satria: Puisi yang hidup itu kamu bunuh, kamu iris perutnya, kamu edel-edel ususnya, menerka: huh, kebanyakan mi instan!
[...]
Chairil Anwar: Pada daun gugur tanya sendiri, dan sama lagu melembut jadi melodi!
[...]
Norman Adi Satria: Apa kabar, Tuhan? Semoga kami baik-baik saja.
[...]
Wiji Thukul: Karena sekarang aku buron diburu penguasa karena aku beroganisasi.
[...]
Wiji Thukul: Aku bukan artis pembuat berita, tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa. Puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan.
[...]
Wiji Thukul: Momok hiyong, momok hiyong, berapa ember lagi darah yang ingin kauminum?
[...]