Normantis The Deposed
Official Website of Normantis The Deposed
Norman Adi Satria: Dee, jangan mau dibohongi oleh orang yang bilang: kita harus keluar dari zona nyaman!
[...]
Norman Adi Satria: Semua puisi adalah puisi cinta, tak terkecuali puisi yang berisi kebencian.
[...]
Norman Adi Satria: Menangisi mantan itu bodoh tahu!
[...]
Norman Adi Satria: Apakah akalku harus sakit dulu untuk memahamimu?
[...]
Norman Adi Satria: Tuhan saja diolok-olok, apalagi cuma calon presiden.
[...]
Norman Adi Satria: Maaf, aku sudah melupakan hafalanku.
[...]
Norman Adi Satria: Noise memang harus dibungkam! Nada-nada sumbang harus direkam ulang!
[...]
Norman Adi Satria: Dan hanya aku yang dianggap bajingan sebab luka parahku tak kelihatan.
[...]
Norman Adi Satria: Jauh sebelum kita bertemu, aku sudah punya rindu.
[...]
Norman Adi Satria: Benangmu telah lama habis, tapi kau masih menusuk-nusukkan jarum itu di lukaku.
[...]
Norman Adi Satria: Keromantisan itu bukan terletak pada apa yang kulakukan, tapi bagaimana caramu memaknainya.
[...]
Norman Adi Satria: Dan ketika apiku mati, barulah kehadiranku kamu renungi.
[...]
Norman Adi Satria: Ciee, Tuhan.. Bisa aja bikin kisahnya.
[...]
Norman Adi Satria: Murid kurang ajarmu ini kini jadi penyair kurang ajar
yang masih suka memberontak segala hal yang tak dianggap benar.
[...]
Norman Adi Satria: Jujur, saya sempat kecewa kepada Presiden Joko Widodo. Saya merasa “ke-Jawa-an”-nya semakin lama semakin memudar.
[...]
Norman Adi Satria: Kau mulai merindukan monster ini. Bahkan dalam tidurmu kau mulai memimpikanku. Entah sebagai mimpi indah atau mimpi buruk.
[...]
Norman Adi Satria: Lihatlah, betapa pengecutnya mereka yang takut pada jejak!
[...]
Norman Adi Satria: Hei, para calon penguasa! Sekali-kali kami juga ingin teriak: Ikeh-ikeh kimochi! Bukan malah susah ngaceng dan ejakulasi dini!
[...]
Norman Adi Satria: Benar, saya penyu yang jiwanya tidak penyuwi, seniman yang jiwanya tidak nyeni, penyair yang jiwanya tidak sastrawi.
[...]
Norman Adi Satria: Ketika cita-citaku adalah kamu, aku sadar bahwa memilikimu bukanlah titik akhir pencapaian.
[...]
Wahyu Arsyad: Ia menangis, juga merindukan hari penyesalannya. Hari ia lepas keperawan...
[...]
Yanwi Mudrikah: Cukup! Tak usah kau bicara soal kalender.
[...]
Yanwi Mudrikah: Ketika menikah itu (bukan) takdir, kenapa harus khawatir?
[...]
Norman Adi Satria: Mengapa yang bukan siapa-siapa itu bisa semenyakitkan ini?
[...]
Norman Adi Satria: “Baru kali ini aku tersenyum lagi,” ucapmu, “saat kamu mulai peduli pada lukaku.”
[...]
Norman Adi Satria: Aku tak peduli cintamu hanya sandiwara sebab hatiku memang sebuah panggung!
[...]
Norman Adi Satria: Hanya yang paling mencintai yang bisa seluka ini.
[...]
Wahyu Arsyad: Pada ke-Good Boy-an ku, aku mencoba menjadi Bad Boy.
[...]
Norman Adi Satria: Malam ini kubiarkan namamu sendirian di puisi.
[...]
Norman Adi Satria: Di panggung itu kulihat pembunuhmu berkoar-koar membacakan sajakmu.
[...]
Norman Adi Satria: Kita sama-sama lelaki. Bertanya “apa kabar?” dilanjutkan dengan “udah makan belum?”, itu siasat basi!
[...]
Norman Adi Satria: Dengan tidak menjadikannya selingkuhan, aku membuatnya tetap menjadi perempuan baik-baik.
[...]
Norman Adi Satria: Ia tengah pusing merumuskan bagaimana cara berpikir yang filsafati yang paling mendekati hakiki.
[...]
Norman Adi Satria: Istriku, aku tak ingin ngacengku melukaimu. Aku tak ingin kau yang ikeh-ikeh namun mereka yang kimochi.
[...]
Norman Adi Satria: Penyair tak pernah menulis kamu yang benar-benar kamu, Nona.
[...]
Norman Adi Satria: Entah mengapa setelah kau menemukan jalan kebenaran kau sangat membenci kesesatan dan gemar memaki orang yang masih sesat.
[...]
Norman Adi Satria: Meski kita menjalaninya berdua, kenangan kita tak mesti sama. Contohnya luka ini.
[...]
Norman Adi Satria: Yang jadi problema adalah yang kau ngerti setelah satu adalah dua. Padahal setelah satu bisa saja 1,000000...1 dan seterusnya.
[...]
Norman Adi Satria: Kisah cinta kita dimulai dengan sangat sederhana. Ketika itu plastik gorenganku koyak. Tempe mendoan, dages, dan tahu brontak jatuh berserak.
[...]
Norman Adi Satria: Lebih baik tidak tahu masa lalu pasanganmu atau kau harus benar-benar menerima segala yang ingin dilupakannya
[...]
Norman Adi Satria: Begitu banyak identitas temporal yang kita sandang sehari-hari, termasuk sebagai pendukung Prabowo atau Jokowi. Sayangnya kita kerap lupa identitas permanen yang kita sandang: sebagai manusia, sebagai bangsa.
[...]
Apakah “Kampret” dan “Kecebong” bisa bersatu?
[...]
Norman Adi Satria: Dulu aku orang yang tak kenal lelah. Tapi kemudian kamu kenalkan, "Nih, kenalin si lelah."
[...]
Norman Adi Satria: Sepuluh tahun lalu ku-add friend gadis-gadis Facebook yang cantik jelita dan bohay itu. Barangkali ada yang kecantol satu.
[...]
Bertahun bersama, baru kini kutahu suamiku tak pernah mencintai aku.
[...]
Aku hanya tangga darurat tatkala lift asmaramu dengannya sedang macet.
[...]
Norman Adi Satria: Kau takkan bisa menggantikan si hilang itu karena untuk menjadi seperti dirinya pada akhirnya kau harus menghilang juga.
[...]
Norman Adi Satria: Bukankah teroris seperti bocah main mercon: bom meledak dan mereka hora-hore kegirangan?
[...]
Norman Adi Satria: Anak nakal yang cengeng mau jadi apa kau besar nanti? Begundal melankolis atau penjahat kelamin romantis?
[...]