Cak Nun: Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kaumencinta itu dan bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu. [...]
Emha Ainun Nadjib: Namanya Bambang Suprihatin. Aku tidak tahu apakah orangtuanya bermaksud melatih putranya ini agar tahan terhadap segala keprihatinan. Dan kini apakah mereka mengetahui betapa anaknya lebih dari sekadar berprihatin? [...]
Emha Ainun Nadjib: Kurang ajar betul gelandangan itu. Aku mengejarnya lebih cepat. Tetapi apakah aku sedang mengejarnya atau justru ia yang menarik kakiku untuk berjalan ke arah yang sama dengannya? [...]
Emha Ainun Nadjib: Sejak semula Tuhan memang bermaksud melepaskan anak demi anak panah ke seluruh bagian tubuh dan jiwa kita. Kenapa kita mesti memohon agar anak panah itu disimpan saja di pinggang Tuhan. Itu tindakan betina. [...]
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Ingat Pancasila, ingat Idul Adha. Aneh, apakah karena pesta pengorbanan? Apakah karena di bumi Pancasila ini makin sedikit orang yang mau berkorban, makin banyak orang yang mengorbankan orang lain? [...]
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Cerita memang sedikit bergeser ketika suatu hari ke desa saya itu datang seorang cowboy dari kota. Seorang mubalig modern. Pioneer yang menjajakan inovasi, pembaruan: Ini Islam Baru! Ini Baru Islam! [...]
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Dagang adalah dagang. Kehidupan adalah keuntungan. Kemajuan ialah merebut peruntungan. Gobloklah siapa pun yang menolak keuntungan, seperti Pak Cendol itu. [...]
Cak Nun: Sang Bapak mengisap rokok kretek. Menghirup kopi tubruk. Mengisap pentil susu bumi. Mengirup samudra. Glegeken ludahnya Gusti Allah. Yang diisap pentil susu bumi, karena langit dianggap tak punya lagi pentil. [...]
Emha Ainun Nadjib: Apakah desa adalah udara permai daun-daun yang hijau, dan kota adalah tiang-tiang listrik yang kering, kebisingan suara serta kehidupan yang pengap? [...]
Cak Nun: ”Ganti dengan gundulmu apa!” Nyonya Gondo meledak. ”Kauhanya sibuk bikin rencana dan sibuk berlagak pada tetangga. Aku tahu betul kaupulang bawa pasir hanya untuk memberi kesan kepada tetangga seolah-olah kita ini makmur dan akan kaya." [...]
Cak Nun: Tanah itu bukan milik Pandawa maupun Kurawa. Tanah itu milik rakyat, dan di manakah rakyat, di tengah jajaran wayang-wayang? Tentu tidak tertampung dalam kotak ki dalang. Di mana? [...]
Cak Nun: Sebenarnya aku punya harga diri yang tinggi, semacam keangkuhan, tapi setiap perempuan pada akhirnya akan menyadari bahwa keangkuhan hanyalah selapisan amat tipis dari kebutuhan perasaannya yang sebenarnya. [...]
Cak Nun: Dan, ini yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup... Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin. Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan di batinku, ambrol. [...]