WS Rendra
Kumpulan Puisi Terbaik WS Rendra.
W.S. Rendra: Engkau harus mengawini aku, meskipun tanpa cinta. Engkau tidak boleh lari. Buah yang kukandung ini kita berdua yang menanamnya.
[...]
W.S. Rendra: Zaman sekarang orang tak menghargai kejantanan lagi. Orang hanya menghargai kelicikan.
[...]
W.S. Rendra: Pastor berkata itu dosa. Edi cinta Retno. Pastor tahu itu dan berkata Edi dosa.
[...]
W.S. Rendra: Nenek moyang kita zaman dahulu akan berkata, "Seorang lelaki harus segera bangkit apabila ia jatuh tersungkur, memahami cacat dan kejatuhan diri sendiri memang sangat baik, tetapi lebih mulia lagi kalau ia segera bangkit kembali dan melangkah lagi.
[...]
W.S. Rendra: Saya mempunyai teman sepemondokan yang bernama Aman, tetapi karena ia seorang peribut maka ada orang memanggilnya "Pengacau", dan karena ia pendek maka ada orang yang menamakannya "si Pendek", kecuali itu karena mukanya penuh dengan jerawat maka ada juga yang menyebutnya "si Jerawat".
[...]
W.S. Rendra: Dan kita disini bertanya: “Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?”
[...]
WS Rendra: Aku pulang. Setelah mati di dalam hutan dan hidup kembali.
[...]
WS Rendra: Di kampung kami, orang sangat berdendam terhadap maling. Dan, maling yang pengkhianat itu dipukuli beramai-ramai. Pecah kepalanya.
[...]
WS Rendra: Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk. Dengan pandangan arif dan bijak membelai kepala para pelacur.
[...]
WS Rendra: Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri.
[...]
WS Rendra: Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.
[...]
WS Rendra: Tinggalkan badan anak ini. Saya akan mencintaimu sampai mati. Pergilah! Hapuskanlah kengerianku padamu. Pergi!
[...]
WS Rendra: Sekarang kau minta gadisku. Dan, boneka bobrok itu pun saya berikan padamu!
[...]
WS Rendra: Gila! Leher yang begitu indah dan asli tak perlu kalung macam mana pun juga!
[...]
WS Rendra: Lihatlah bagaimana matanya. Begitulah mata seorang ibu. Matanya memancarkan cahaya lembut bantalan.
[...]
WS Rendra: Kepada kamu aku bertanya: mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan, apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?
[...]
WS Rendra: Janganlah kita menunggu Ratu Adil. Ratu Adil bukanlah orang. Ratu Adil bukanlah lembaga. Ratu Adil adalah.....
[...]
WS Rendra: Ricky, sayang, engkau akan kuninabobokan. Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.
[...]
WS Rendra: Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus. Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih. Lalu tubuhnya dicincang.
[...]
WS Rendra: Ia bernyanyi. Suaranya dalam. Lagu dan kata ia kawinkan. Lagu beranak seratus makna. Georgia. Georgia yang jauh.
[...]
WS Rendra: Di langit remang-remang ada satu mata kelabu, aku bimbang apa cinta apa dendam menungguku.
[...]
WS Rendra: Kenangan malam, tak bisa ku tidur bila kau datang!
[...]
WS Rendra: Wahai, gadis yang tak kucinta dan menangis berguling dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mata anjing.
[...]
WS Rendra: Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang. Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang.
[...]
WS Rendra: Tersebar ratapan perempuan sial bagai merayap di atas jalan yang kekal.
[...]
WS Rendra: Teriak angin di dada: Spada! Bila kau lelakiku yang serong, berpalinglah kiranya.
[...]
WS Rendra: Ia duduk di atas luka berbelai dengan hawa ia berkata: Saya sudah tua, dan disuruh saya: Duduk sajak di sana! Dan menanti!
[...]
WS Rendra: Tuhan adalah bunga-bunga mawar yang ramah. Tuhan adalah burung kecil berhati merah.
[...]
WS Rendra: Aku telah berjalan antara orang-orang tak berdosa, jemari lembut awan, air mata susu bunda.
[...]
WS Rendra: Di bumi yang hangus hati selalu bertanya apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
[...]
WS Rendra: Membayangkan wajahmu adalah siksa. Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
[...]
WS Rendra: Mamma yang tercinta, akhirnya kutemukan juga jodohku. Seseorang yang bagai kau: sederhana dalam tingkah dan bicara serta sangat menyayangiku.
[...]
WS Rendra: Semua lelaki ninggalkan ibu dan ia masuk serdadu. Kemudian ia kembang di perang; dan tertelentang. Bagi lain orang.
[...]
WS Rendra: Waktu seperti burung tanpa hinggapan, melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan.
[...]
WS Rendra: Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan muramnya kasih gugur, lembutnya kucup penghabisan.
[...]
WS Rendra: Wajahku. Lihatlah, wajahku. Terkaca di keheningan. Berdarah dan luka-luka dicakar masa silammu.
[...]
WS Rendra: Sebagai bajingan aku telah kau terima. Engkau melenguh waktu dadamu kugenggam.
[...]
WS Rendra: Engkau adalah bumi, Mama. Aku adalah angin yang kembara. Kuciumi wajahmu wangi kopi dan juga kuinjaki sambil pergi.
[...]
WS Rendra: Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi kerna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.
[...]
WS Rendra: Wahai, sayap terbakar dan gulita pada mata. Orang buangan tak bisa lunak oleh kata.
[...]
WS Rendra: Bumi bakal tidak lagi perawan, tergarap dan terbuka sebagai lonte yang merdeka.
[...]
WS Rendra: Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan, asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya. Ini selalu menarik seorang menteri.
[...]
WS Rendra: Ia bicara panjang lebar kepadamu tentang perjuangan nusa bangsa dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal ia sebut kau inspirasi revolusi sambil ia buka kutangmu.
[...]
WS Rendra: Dua puluh malaikat turun dari surga menyucikan yang sedang sekarat, tapi di bumi mereka disergap kelelawar-kelelawar raksasa yang lalu memperkosa mereka.
[...]
WS Rendra: Kelambu ranjangku tersingkap di bantal berenda tergolek nasibku. Apabila firmanmu terucap masuklah kalbuku ke dalam kalbumu.
[...]
WS Rendra: Rohku dan rohmu bagaikan proton dan elektron, bergolak, bergolak di bawah dua puluh tiga matahari.
[...]
WS Rendra: Ketika bulan tidur di kasur tua, gadis itu kucumbu di kebun mangga. Hatinya liar dan brahi, lapar dahaga ia injak dengan kakinya.
[...]
WS Rendra: Mata cerlang aduan rindu dan dendam, mata air yang meminta diri tenggelam.
[...]
WS Rendra: Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu mengendap dalam nyanyiku.
[...]
WS Rendra: Wahai, tanah yang baik untuk mati! Dan kalau kuterlentang dengan pelor timah, cukillah ia bagi putraku di rumah.
[...]