Wiji Thukul
Kumpulan Puisi dan Kata Bijak karya Wiji Thukul.
Wiji Thukul: Tapi satu mana lengkap tanpa yang pecah. Maka aku pun rela jadi sepersekian dari keutuhanmu.
[...]
Wiji Thukul: Bulan malam menggigit batinku. Mulutnya lembut seperti pendeta tua mengulurkan lontaran nasibmu.
[...]
Wiji Thukul: Beri-berilah aku ketajaman untuk membutakan mataku.
[...]
Wiji Thukul: Karena sekarang aku buron diburu penguasa karena aku beroganisasi.
[...]
Wiji Thukul: Momok hiyong, momok hiyong, berapa ember lagi darah yang ingin kauminum?
[...]
Wiji Thukul: Di udara penguasa seperti Raja Telanjang, tua tambun dan menggelikan.
[...]
Wiji Thukul: Apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka? Ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa?
[...]
Wiji Thukul: Menjadi diri sendiri adalah tindakan subversi di negeri ini. Maka selalu siaga polisi, tentara, hukum dan penjara bagi siapa saja yang menolak menjadi orang lain.
[...]
Wiji Thukul: Dari tingkat empat, kalau aku melompat, diriku rata oleh aspal dan lalu lintas. Tapi akankah bertemu atau tetap gelisah mencari.
[...]
Wiji Thukul: Tak pernah selesai pertarungan menjadi manusia. Tak pernah terurai pertarungan menjadi rahasia. Adalah buku lapar arti.
[...]
Wiji Thukul: Sahabat-sahabat manusia huruf-huruf puisi.
[...]
Wiji Thukul: Seribu lenganku, seribu kakiku, menjauhkanku padamu.
[...]
Wiji Thukul: Jangan lupa, kekasihku. Jika kau ditanya siapa mertuamu, jawablah: yang menarik becak itu. Itu bapakmu, kekasihku.
[...]
Wiji Thukul: Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku: sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam, tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
[...]
Wiji Thukul: Wani, bapakmu harus pergi. Kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi, jawab saja: ”Karena bapakku orang berani.”
[...]
Wiji Thukul: Jangan takut lapar, nak! Kota adalah gudang pangan, bebas digenggam siapa pun yang tega hati.
[...]
Wiji Thukul: Kota ini milik kalian, kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu: jangan!
[...]
Wiji Thukul: Seorang lelaki kelana di dunia batin sudah akrab dengan gelap yang menuntun ke pusat cahaya. Hanya kepadanya ia akan menyerah.
[...]
Wiji Thukul: Hari ini aku mimpi buruk lagi: seekor burung kecil menanti induknya di dalam sarangnya yang gemeretak dimakan sapi.
[...]
Wiji Thukul: Alamat rumah kami punya, tapi sayang, kami butuh tanah.
[...]
Wiji Thukul: Saya mengganggu sunyi? Saya merindukan sunyi.
[...]
Wiji Thukul: Kembali sepatuku jebol (dua puluh tahun hidup cuma cerita saja).
[...]
Wiji Thukul: Tengah malam biji karambol gemetar itu berdebar-debar menebak kapan datang tangan itu menyentil tubuhnya.
[...]
Wiji Thukul: Sajak ini mengajakmu tamasya ke rumah sakit, menikmati sunyi.
[...]
Wiji Thukul: Tuhanku, aku terluka dalam keindahanmu.
[...]
Wiji Thukul: Seorang kawan kita mati terkapar. Mati ditembak, mayatnya dibuang. Kepalanya koyak, darahnya mengental dalam selokan.
[...]
Wiji Thukul: Pagi berangkat kerja, sore tertegun, bintang di kamarku mengganti angka-angka kalender
[...]
Wiji Thukul: Derita sudah naik seleher. Kau menindas sampai di luar batas.
[...]
Wiji Thukul: Berangkat ke dunia baru yang sesungguhnya usang tapi selalu saja kita terkejut dengan cara perjalanan itu.
[...]
Wiji Thukul: Tuan jaksa, tuan jaksa, undang-undang mana, bikinan siapa yang memberi hak pada pejabat negara meremehkan nyawa?
[...]
Wiji Thukul: Siapa tahu kita telah membusuk diam-diam.
[...]
Wiji Thukul: Derita sudah matang, bung, bahkan busuk.
[...]
Wiji Thukul: Istirahatlah kata-kata. Jangan menyembur-nyembur orang-orang bisu.
[...]
Wiji Thukul: Tak usah terkejut pun, putar jarum jam akan merajutmu.
[...]
Wiji Thukul: Di mana moncong senapan itu? Aku pengin meledak sekaligus jadi peluru, mencari jidatmu mengarah mampusmu.
[...]
Wiji Thukul: Partai politik, omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang. Bubarkan saja itu komedi gombal.
[...]
Wiji Thukul: Apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli. Apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.
[...]
Wiji Thukul: Dunia bergerak bukan karena omongan para pembicara dalam ruang seminar yang ucapannya dimuat di halaman surat kabar.
[...]
Wiji Thukul: Bahasa cinta sudah kita jual. Hidup jadi toko serba-otomatis, sulit terharu, lupa meditasi.
[...]
Wiji Thukul: Lapar memang memalukan! Tiba-tiba aku mendengar jutaan nyawa saudaraku yang karena lapar menjadi copet, lonte, dan gelandangan.
[...]
Wiji Thukul: Seekor kucing kurus menggondol ikan asin laukku untuk siang ini. Aku meloncat, kuraih pisau, biar kubacok dia, biar mampus!
[...]
Wiji Thukul: Berpikir merdeka bukanlah kesalahan. Ucapan penguasa selalu dibenarkan laras senapan!
[...]
Wiji Thukul: Aku akan bersiul-siul memproklamasikan kemerdekaanku. Aku akan dan bernyanyi sekeras-kerasnya. Pemilu oo... pilu, pilu.
[...]
Wiji Thukul: Tong potong roti, roti campur mentega. Belanda sudah pergi, kini datang gantinya.
[...]
Wiji Thukul: Di pinggir jalan berdiri toko-toko baru dan macam-macam bangunan. Kampung kami di belakangnya, riuh dan berjubel seperti kutu kere kumal.
[...]
Wiji Thukul: Lingkungan kita si mulut besar. Sakit perut dan terus berak, mencret oli dan logam, busa dan plastik.
[...]
Wiji Thukul: Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah, tetapi menangis ketika aku susah.
[...]
Wiji Thukul: Bagong namanya. Tantanglah berkelahi, kepalamu pasti dikepruk batu. Bawalah whisky, bahumu pasti ditepuk-tepuk gembira.
[...]
Wiji Thukul: Sandal jepit dan ubin mengkilat. Betapa jauh jarak kami. Uang sepuluh ribu di sakuku, di sini hanya dapat dua buku. Untuk keluargaku cukup buat makan seminggu.
[...]
Wiji Thukul: Aku ini penyair miskin tapi kekasihku cinta. Cinta menuntun kami ke masa depan.
[...]