Puisi Renungan
Puisi Perenungan Paling Menyentuh Hati 2016.
Norman Adi Satria: Dee, jangan mau dibohongi oleh orang yang bilang: kita harus keluar dari zona nyaman!
[...]
Norman Adi Satria: Semua puisi adalah puisi cinta, tak terkecuali puisi yang berisi kebencian.
[...]
Norman Adi Satria: Apakah akalku harus sakit dulu untuk memahamimu?
[...]
Norman Adi Satria: Tuhan saja diolok-olok, apalagi cuma calon presiden.
[...]
Norman Adi Satria: Noise memang harus dibungkam! Nada-nada sumbang harus direkam ulang!
[...]
Norman Adi Satria: Keromantisan itu bukan terletak pada apa yang kulakukan, tapi bagaimana caramu memaknainya.
[...]
Norman Adi Satria: Murid kurang ajarmu ini kini jadi penyair kurang ajar
yang masih suka memberontak segala hal yang tak dianggap benar.
[...]
Norman Adi Satria: Benar kata Munir, penculikmu butuh pengadilan.
[...]
Norman Adi Satria: Hei, para calon penguasa! Sekali-kali kami juga ingin teriak: Ikeh-ikeh kimochi! Bukan malah susah ngaceng dan ejakulasi dini!
[...]
Norman Adi Satria: Ketika cita-citaku adalah kamu, aku sadar bahwa memilikimu bukanlah titik akhir pencapaian.
[...]
Norman Adi Satria: Di panggung itu kulihat pembunuhmu berkoar-koar membacakan sajakmu.
[...]
Norman Adi Satria: Kita sama-sama lelaki. Bertanya “apa kabar?” dilanjutkan dengan “udah makan belum?”, itu siasat basi!
[...]
Norman Adi Satria: Ia tengah pusing merumuskan bagaimana cara berpikir yang filsafati yang paling mendekati hakiki.
[...]
Norman Adi Satria: Istriku, aku tak ingin ngacengku melukaimu. Aku tak ingin kau yang ikeh-ikeh namun mereka yang kimochi.
[...]
Norman Adi Satria: Penyair tak pernah menulis kamu yang benar-benar kamu, Nona.
[...]
Norman Adi Satria: Entah mengapa setelah kau menemukan jalan kebenaran kau sangat membenci kesesatan dan gemar memaki orang yang masih sesat.
[...]
Norman Adi Satria: Yang jadi problema adalah yang kau ngerti setelah satu adalah dua. Padahal setelah satu bisa saja 1,000000...1 dan seterusnya.
[...]
Norman Adi Satria: Lebih baik tidak tahu masa lalu pasanganmu atau kau harus benar-benar menerima segala yang ingin dilupakannya
[...]
Norman Adi Satria: Begitu banyak identitas temporal yang kita sandang sehari-hari, termasuk sebagai pendukung Prabowo atau Jokowi. Sayangnya kita kerap lupa identitas permanen yang kita sandang: sebagai manusia, sebagai bangsa.
[...]
Norman Adi Satria: Iblis tak mengubah satupun kata dari kitab suci. Ia hanya mengubah pengertianmu.
[...]
Norman Adi Satria: Bilang saja pada mereka: ayahku sangat egois dalam hal duka. Ia tak ingin membagi secuilpun dukanya kepada orang lain.
[...]
Norman Adi Satria: Kerna kutukan ibu adalah doa dan kedurhakaan anak adalah aniaya.
[...]
Norman Adi Satria: Yang melongok dari tepian menyebutnya jurang yang teramat dalam. Yang tengadah di dasar menyebutnya tebing tinggi yang teramat curam.
[...]
Norman Adi Satria: Ini bukan soal darah dari selaput dara yang pecah namun tentang kesucian yang mesti kau jaga sebagai anugerah.
[...]
Wiji Thukul: Beri-berilah aku ketajaman untuk membutakan mataku.
[...]
Norman Adi Satria: Baru pindah agama, tiba-tiba ia menjadi pemuka dengan modal hanya dua: dendam pada agama yang lama dan beberapa cuplikan ayat yang baru saja ia baca.
[...]
Norman Adi Satria: Banyak penyair yang berkeinginan puisinya dapat membuka mata para pembaca. Puisi saya justru ingin pembacanya menutup mata.
[...]
Norman Adi Satria: Demikianlah, dari zaman Daud hingga Elisa, beruang jadi kengerian. Namun Nabi Yesaya tiba-tiba bernubuat bawasanya akan tiba suatu masa di mana lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput.
[...]
Norman Adi Satria: Mbah Kakung tidak pilah pilih ayat saat membaca. Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya mau membaca ayat sukacita.
[...]
Norman Adi Satria: Apa cincin kawin itu kita tukar saja dengan beras? Bukankah menghindarkan kekasih dari busung lapar lebih pantas disebut tanda cinta ketimbang logam yang melingkar di jemarinya?
[...]
Norman Adi Satria: Sesungguhnya aku pun tidak tahu pasti harus disebut apa kamu ini, protagonis namun selalu menyakiti.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Apakah ada cahaya yang tanpa bayang-bayang?
[...]
Norman Adi Satria: Apa yang lebih sedih daripada puisi? Tanyakan pada penyair apa yang tidak ia tulis di dalamnya.
[...]
Norman Adi Satria: Kristenisasi bahkan takkan membuatmu jadi Kristen! Karena yang Kristen saja tak Kristen-Kristen amat. Hari ini ke gereja, besoknya kumat
[...]
Norman Adi Satria: Yang kau dengar: terima kasih ya atas masukannya. Yang sesungguhnya ingin kuucap: sok tahu lu, kadal bunting!
[...]
Chairil Anwar: Pada daun gugur tanya sendiri, dan sama lagu melembut jadi melodi!
[...]
Norman Adi Satria: Apa kabar, Tuhan? Semoga kami baik-baik saja.
[...]
Norman Adi Satria: Bermilyar tahun silam telah ada teknologi 'perintah suara'. Tuhan bilang "jadi", maka segalanya pun jadi.
[...]
Norman Adi Satria: Aku tahu betul mengapa Ia tak mudah berkata. Karena segala yang diucapnya pasti menjadi nyata.
[...]
Norman Adi Satria: Di rumah peribadatan, cuma satu beda kita dengan demonstran: kita tidak bakar ban.
[...]
Norman Adi Satria: Rugi rasanya, sudah hilang perawan, lagi haid diembat juga, sekarang menyalahkan orang lain dan keadaan atas janji yang tak bisa diwujudkan.
[...]
Norman Adi Satria: Merasa diri masyhur? Punya kartu Alpamaret? Belanjalah!
[...]
Wahyu Arsyad: Darinya... Sudah banyak yang menetas. Mulai dari orang bangsat, orang biasa, orang kaya, orang rindu, orang cinta. Penyair...
[...]
Norman Adi Satria: Pada hari ketiga Ia hidup lagi, semudah Penyair menggores tintanya kembali.
[...]
Sutan Takdir Alisjahbana: Ya Allah, ya Rabbi, hancurkan, remukkan sesuka hati.
[...]
Norman Adi Satria: Di zaman Herodes hadirat Tuhan mewujud anak seorang dara. Banyak yang menghujat: masa Tuhan manusia, anak haram pula?
[...]
Sapardi Djoko Damono: Ia tak pernah berjanji kepada pohon untuk menerjemahkan burung menjadi api.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil, lalu suara menghibur seorang ibu menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin memainkannya. Ia barulah layang-layang jika melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.
[...]