Ibu
Puisi Paling Mengharukan Tentang Ibu 2016.
Wahyu Arsyad: Pada ke-Good Boy-an ku, aku mencoba menjadi Bad Boy.
[...]
Norman Adi Satria: Kerna kutukan ibu adalah doa dan kedurhakaan anak adalah aniaya.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Malam ini Puteri Salju, kemarin Bawang Putih, besok Sinderela, ya Bu. Biar Pangeran datang menjemputku.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Di dalam rumah: tangis seorang gadis kecil, lalu suara menghibur seorang ibu menyelundupkan ajal ke negeri dongeng.
[...]
Norman Adi Satria: Perut ditendang lagi, Ibu bergumam: wah, esok jadi pesepakbola anakku, kencang betul tendangannya.
[...]
Norman Adi Satria: Ternyata babi adalah binatang yang paling baik karena bukan cuma berani kotor, dia takut bersih.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku.
[...]
Riska Cania Dewi: Bahagia di atas penderitaan. Seperti apa? Seperti saatku mengandung calon putri kerajaan.
[...]
Joko Pinurbo: Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.
[...]
Joko Pinurbo: Di dalam keranjang ia tidurkan bayinya, bayi yang lahir dari rahim senja.
[...]
Goenawan Mohamad: Si sulung hilang. Empat saudara kandungnya hanya pernah mengirimkan sebuah kalimat, “Mak, kami hanya pengkhianat.”
[...]
Joko Pinurbo: Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu pelan-pelan terbuka dan merebakkan bau masam dari ketiakmu. Aku gugup.
[...]
Norman Adi Satria: Sebagaimana seorang wanita, Ibu tak segan berairmata demi suami yang butuh mengerti bahwa tangis wanita pertanda masih adanya hati.
[...]
Wiji Thukul: Tuan jaksa, tuan jaksa, undang-undang mana, bikinan siapa yang memberi hak pada pejabat negara meremehkan nyawa?
[...]
Norman Adi Satria: Susahmu selamanya melebihiku. Kau tak pernah mau melibatkanku dalam remuknya jiwamu, dalam setiap gelisahmu. "Jangan, Nak, kau kini punya gelisahmu sendiri." katamu.
[...]
Wiji Thukul: Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah, tetapi menangis ketika aku susah.
[...]
Norman Adi Satria: Sebagus-bagusnya kau bikin kartun Si Kancil, lebih bagus khayalanku kala dengar dongengan Ibu saat kecil.
[...]
Joko Pinurbo: Semoga anakku yang pemberani, yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan, menemukan jalan untuk pulang; pun jika aku sudah lapuk dan karatan
[...]
WS Rendra: Ia duduk di atas luka berbelai dengan hawa ia berkata: Saya sudah tua, dan disuruh saya: Duduk sajak di sana! Dan menanti!
[...]
WS Rendra: Mamma yang tercinta, akhirnya kutemukan juga jodohku. Seseorang yang bagai kau: sederhana dalam tingkah dan bicara serta sangat menyayangiku.
[...]
WS Rendra: Engkau adalah bumi, Mama. Aku adalah angin yang kembara. Kuciumi wajahmu wangi kopi dan juga kuinjaki sambil pergi.
[...]
Joko Pinurbo: Ia gemetar naik ke ranjang sebab menginjak ranjang serasa menginjak rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
[...]
Joko Pinurbo: Bila rindu meluap dan aku banjir, jari-jari tanganku mengucurkan air.
[...]
Joko Pinurbo: Pada usia lima tahun ia menemukan tahilalat di alis ibunya, terlindung bulu-bulu hitam lembut, seperti cinta yang betah berjaga di tempat yang tak diketahui mata.
[...]
Joko Pinurbo: Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai kata-kata dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
[...]
Titi Aoska: Neraka datang lebih cepat. Anakku mati!! Anakku mati!!!
[...]
Norman Adi Satria: Entah mengapa Tuhan begitu menyayangi Cantika. Ketika ia tak jadi lahir sebagai yang pertama, ia pulang mendahului kedua kakaknya.
[...]
Norman Adi Satria: Kemudian, ketika anaknya telah mampu terbang, dia akan ajarkan bahwa sarang mereka bukan lagi jerami yang hangat dan nyaman.
[...]
Norman Adi Satria: Aku hanya sebatang pohon jambu kesepian di sebuah halaman. Tak bisa kuusirnya. Bila dia pergi, aku akan kembali sendiri.
[...]
Norman Adi Satria: Anak itu berangkat dengan berseragam. Di tengah jalan dia ganti kaos, bersama kawan-kawannya bolos, pergi ke Dufan untuk main pesawat-pesawatan
dan melihat badut.
[...]
Joko Pinurbo: Ibu buru-buru menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku. Celana juga sedang belajar memakaimu.
[...]
Joko Pinurbo: Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja. Sudah sering aku terima telepon dan bertanya "Siapa ini?", jawabnya cuma "Ini siapa?"
[...]
Joko Pinurbo: "Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan? Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma."
[...]
Remy Sylado: Hidup menjadi indah setelah sakit pergi sementara dan di depan mata berdiri seorang ibu.
[...]
Joko Pinurbo: Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-aku sebagai ayah saya. Sayang, saya tak butuh pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.
[...]
Norman Adi Satria: Jangan sampai anak kita tahu! Jika kita pun masih belajar menjadi ayah dan ibu.
[...]
Norman Adi Satria: Berudu itu melihat katak lainnya telah menjadi selain katak, yang hanya tidur di dalam tempurung, ditemani udang yang sembunyi di balik batu.
[...]
Remy Sylado: Aku berteriak kepada langit kala ibuku jadi marhumah, menyadari sial lelaki.
[...]
Norman Adi Satria: Saat balita kita mengerti bahasa semut yang lapar dan segala bahasa alam liar.
[...]
Norman Adi Satria: Bibir bayi dan puting ibu selalu punya koneksi. Bila bayi lapar, puting ibu selalu mengeras.
[...]
Chairil Anwar: Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu? Ah, Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
[...]
Norman Adi Satria: Saya ingin bertanya, "Ibu, mengapa saya kembali bayi?" Namun ia hanya mendengar: baba baba..
[...]
Remy Sylado: Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.
[...]
Gus Mus: Kaulah, ibu, mentari dan rembulan yang mengawal perjalananku mencari jejak surga di telapak kakimu.
[...]
WS Rendra: Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku. Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.
[...]
WS Rendra: Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar, aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
[...]
Joko Pinurbo: Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.
[...]
Joko Pinurbo: Ibu suka memungut huruf-huruf di koran dan membubuhkannya ke dalam kopiku.
[...]
WS Rendra: Jangan takut, Ibu! Jangan mau digertak. Jangan mau diancam. Karena ketakutan meningkatkan penjajahan.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Barangsiapa tidak tahu bersetia pada azas dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati
[...]