Ayah
Puisi Paling Mengharukan Tentang Ayah 2016
Norman Adi Satria: Bilang saja pada mereka: ayahku sangat egois dalam hal duka. Ia tak ingin membagi secuilpun dukanya kepada orang lain.
[...]
Norman Adi Satria: Perut ditendang lagi, Ibu bergumam: wah, esok jadi pesepakbola anakku, kencang betul tendangannya.
[...]
Norman Adi Satria: Ia membuka laci gerobaknya, dua lembar duit merah bergambar perahu layar menyapa. "Masih jauh untuk menuju Pak Harto, Nak." ucapnya.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku.
[...]
Norman Adi Satria: Sajakku tak perlu dibacakan lagi kecuali tentang cintaku kepadamu, ibumu, dan Ilahi.
[...]
Wiji Thukul: Wani, bapakmu harus pergi. Kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi, jawab saja: ”Karena bapakku orang berani.”
[...]
Norman Adi Satria: Kebaikan telah membuat papamu kaya raya, punya mobil mewah. Besok kita pelesir ke Jogja lalu ke Bali. Minggu depan kita ke Disneyland.
[...]
Norman Adi Satria: Sebagaimana seorang wanita, Ibu tak segan berairmata demi suami yang butuh mengerti bahwa tangis wanita pertanda masih adanya hati.
[...]
Norman Adi Satria: Namun siapa bisa menggarami "konon"? Siapa mampu menggarami kepercayaan? Andai pun bisa, sebanyak apapun digarami "konon" akan segera lenyap jika tak terbukti.
[...]
Norman Adi Satria: Itulah langit dimana Tuhan kita bertahta. Kau akan mencapainya hanya dengan bersujud dalam doa.
[...]
Norman Adi Satria: Tapi mengapa kau biarkan aku mabuk, kau biarkan aku rusak, jadi bocah nakal, calon bajingan?
[...]
Norman Adi Satria: Burung camartua hinggap di jendela, tiap tanggal tua makannya indomie aja.
[...]
Norman Adi Satria: Siapa bilang orang miskin tak bisa Kristen, jua sebaliknya: orang Kristen tak bisa miskin?
[...]
Joko Pinurbo: "Selamat minggat," ujarnya sambil mencubit pipiku. "Selamat ngorok," ucapku sambil kucubit janggutnya.
[...]
Joko Pinurbo: Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini saat kau sedang gelap atau mati kata, maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya.
[...]
Joko Pinurbo: Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang menjadi korban gigit anjing gila. Mereka diserang demam berkepanjangan bahkan ada yang sampai kesurupan.
[...]
Norman Adi Satria: Dengan membiarkan anaknya tak berbakti, dia tengah mencambuk, menghantam, dan memaki masa lalu yang terlambat dia sesali.
[...]
Norman Adi Satria: Entah mengapa Tuhan begitu menyayangi Cantika. Ketika ia tak jadi lahir sebagai yang pertama, ia pulang mendahului kedua kakaknya.
[...]
Norman Adi Satria: Jangan sampai anak kita tahu! Bila kita sedang belajar pula menjadi ayah dan ibu.
[...]
Norman Adi Satria: "Aku mau menjewer telinganya, dia nakal, menggigit pantatku!" kata bocah itu sambil menggaruk pantatnya yang bentol.
[...]
Norman Adi Satria: Itu sesuatu yang selama ini ditunggu-tunggu: waktu. Meski hanya tersisa serpih-serpih dari yang terpakai di dalam sibuk.
[...]
Norman Adi Satria: Nak, membacakan puisi tak perlu melulu bergelora. Bacalah seperti biasa namun dengan sepenuh jiwa. Karena pendengar puisi bukanlah telinga namun hati.
[...]
Norman Adi Satria: Bapak bilang, ilmu adalah sepeda yang akan membawaku ke masa depan.
[...]
Norman Adi Satria: Saat balita kita mengerti bahasa semut yang lapar dan segala bahasa alam liar.
[...]
Norman Adi Satria: Suatu kali ada tetes air tanpa hujan jatuh di muka saya. Saya tahu itu airmatanya.
[...]
Norman Adi Satria: Saya ingin bertanya, "Ibu, mengapa saya kembali bayi?" Namun ia hanya mendengar: baba baba..
[...]
Joko Pinurbo: Ibu suka memungut huruf-huruf di koran dan membubuhkannya ke dalam kopiku.
[...]
Norman Adi Satria: "Kau minta yang mirip bapakmu kan? Aku memotong rambutmu sama dengan bapakmu di usiamu. Kakekmu temanku, dia seorang tentara."
[...]
Norman Adi Satria: "Nak, untuk mandi seperti ini kita tak perlu jadi orang kaya, jadilah orang yang mampu melakukan apapun dalam keterbatasan yang ada."
[...]
Norman Adi Satria: Ketika harta menggelimang ingatan kita tentang orangtua terkadang menghilang.
[...]
Norman Adi Satria: "Aku bukan binatang jalang, dan aku bukan kumpulan Chairil Anwar. Aku diriku sendiri."
[...]
Norman Adi Satria: Di tubuh pengelana bisa jadi terbalut aksesori futuristik, namun tetap saja jiwanya klasik.
[...]
Norman Adi Satria: Nak, ompolmu tiga puluh tahun lalu kini telah menjadi hujan, membasahi kaos kumal bapak di tiang jemuran yang lupa diangkat oleh ibu.
[...]
Norman Adi Satria: Menyanyi itu harus mengeluarkan nada, namun tangis tak mesti harus berairmata
[...]