Puisi Sejarah
Kumpulan Puisi Tentang Fakta-fakta Sejarah di Masa Lampau
Norman Adi Satria: Benar kata Munir, penculikmu butuh pengadilan.
[...]
Norman Adi Satria: Lihatlah, betapa pengecutnya mereka yang takut pada jejak!
[...]
Sapardi Djoko Damono: Aneh, koran ternyata bisa juga membuat hubungan antara yang hidup dan yang mati, yang tak saling mengenal.
[...]
Norman Adi Satria: Sebagian jadi enggan melaut, takut dibilang matre. Sebagian lagi curiga moyang matre kerna ke laut aje.
[...]
Wiji Thukul: Wani, bapakmu harus pergi. Kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi, jawab saja: ”Karena bapakku orang berani.”
[...]
Norman Adi Satria: Kartini adalah pemberontak atas istiadat moyang! Kartini telah menjadi moyang atas leluri baru!
[...]
Sajak Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar pernah dituduh sebagai hasil plagiasi (jiplakan) dari Sajak The Young Dead Soldiers Do Not Speak karya Archibald MacLeish.
[...]
Goenawan Mohamad: Kau dengarkah angin ngakak malam-malam ketika bulan seperti susu yang tertikam ketika mereka memperkosa Mesopotomia?
[...]
Osram: Sapi kurus kering jangan keburu diperah. Ambil sabit carikan dulu rumput baginya!
[...]
Norman Adi Satria: Tuanku Imam Bonjol tahu ini kegoblokan. Memisah yang sebangsa dengan dua cap pertentangan: yang dikata alim dengan yang diyakini bejat.
[...]
Joko Pinurbo: Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei adalah juga tubuh kami. Api ingin membersihkan tubuh maya dan tubuh dusta kami.
[...]
Norman Adi Satria: Leluhur tak mesti luhur, namun siapa mau terima moyangnya disebut pelacur?
[...]
Chairil Anwar: Aku suka pada mereka yang berani hidup. Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.
[...]
Chairil Anwar: Sudah dulu lagi terjadi begini. Jari tidak bakal beranjak dari petikan bedil.
[...]
WS Rendra: Adikku lanang, senyumlah bila bangun pagi-pagi kerna pahlawan telah berkunjung di tiap hati.
[...]
WS Rendra: Bumi bakal tidak lagi perawan, tergarap dan terbuka sebagai lonte yang merdeka.
[...]
Norman Adi Satria: Dalam bicara merah darah terbayangkankah ngerinya darah yang tertumpah? Dalam teriak putih tulang terbayangkankah ngilunya daging yang terkelupas hilang?
[...]
Norman Adi Satria: Saya melihat salah satu Joko teman saya menjadi pimpinan penjarahan rumah orang Tionghoa di komplek perumahan saya. Dia berorasi dalam bahasa Indonesia yang dia pelajari dari saya ketika dulu bermain kelereng bersama.
[...]
Remy Sylado: Seperti permata yang digosok dari cuma batu, kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan.
[...]
WS Rendra: Manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Spanyol dan Amerika Serikat itu hanya bersandiwara perang. Hanya sandiwara bagaimana Spanyol menjual bangsa Filipina kepada Amerika Serikat tanpa harus kehilangan muka di dunia internasional.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Filipina murid yang baik Spanyol. Dan Spanyol guru buruk, malah busuk bagi Filipina.
[...]
Joko Pinurbo: Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk di bawah cahaya lampu remang-remang.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Orang Belanda sering membisikkan: berbahagialah mereka yang bodoh, karena dia kurang menderita.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Dia mewakili tragedi peralihan jaman: tumbal jaman baru. Dia tak kurang menderita daripada sejenisnya yang hidup di bawah tindasan pria.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Apakah arti kebebasan kalau karenanya membikin hati orangtua yang mengasih dan menyayang menderita?
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat.
[...]
Gus Mus: Dulu Arek-arek Surabaya tak ingin menyetrika Amerika, melinggis Inggris, menggada Belanda, murka pada Gurka. Mereka hanya tak suka kezaliman yang angkuh merejalela
[...]
Remy Sylado: Ada orang ingin menolong tapi tidak mengenal situasi. Ada orang mengenal situasi tapi tidak ingin menolong.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Dengan kebebasan orang dapat merintihkan kegagalannya dengan bebas pula.
[...]
Chairil Anwar: Sekali berarti, sudah itu mati.
[...]
Norman Adi Satria: Kartini telah menjadi gadis alay nan manja dan galau namun tetap menyemangati kaumnya
[...]
Norman Adi Satria: Habis gelap tak selalu langsung terang! Ada pula yang terlebih dahulu remang-remang!
[...]
Norman Adi Satria: Tubuhnya tak hanya untuk pemuas hasrat, dan jiwanya tak hanya untuk menjadi budak, termasuk menjadi budak dari kebodohan.
[...]
Norman Adi Satria: Tiap zaman menuntut pembaruan meski harus melalui pengkhianatan
[...]
Norman Adi Satria: "Permisi, Kartininya ada?" "Oh, ada. Tunggu sebentar, dia sedang beremansipasi di kamar mandi"
[...]
Norman Adi Satria: Bukankah di bumi ini segala air menyejukkan dan melepas dahaga? Bukan malah melepas nyawa, Nyawa dari keempat saudara seayahku pula? Beraneka tanya berkecambuk di benak Yudistira.
[...]
Norman Adi Satria: Masyarakat luas menganggap mereka kaum yang tidak layak untuk beribadah, namun..
[...]
Norman Adi Satria: Gerakan-gerakan terdahulu hanya bergerak bagai spora, menyebar lalu buyar atau kabur ketika Sang Jendral gugur.
[...]
Norman Adi Satria: Si cucu murid Sokrates, Maha Guru Filsafat itu memutuskan hidup menggelandang laiknya anjing buduk tak bertuan
[...]
Norman Adi Satria: Kau tahu kisahmu takkan tertulis panjang di Injil karena kau mati dipenggal atas permintaan anak kecil.
[...]