Puisi Politik dan Pemerintahan
Kumpulan Puisi Politik dan Pemerintahan 2016.
Wiji Thukul: Lampu butuh menyala, menyala butuh minyak. Perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi. Namun bapak cuma abang becak!
[...]
Wiji Thukul: Bagong namanya. Tantanglah berkelahi, kepalamu pasti dikepruk batu. Bawalah whisky, bahumu pasti ditepuk-tepuk gembira.
[...]
Wiji Thukul: Jika kautahan kata-katamu, kau akan diperlakukan seperti batu, dibuang, dipungut. Atau dicabut seperti rumput. Atau menganga, diisi apa saja menerima.
[...]
Norman Adi Satria: Jujur, bus yang kita tumpangi ini bau sekali. Apa, Nduk? Masa sih ini bau korupsi?
[...]
Norman Adi Satria: "Adi, ajak dong aku ke Senayan!" - "Wah maaf, Cong, syarat jadi anggota dewan bukan hanya sekedar kawan."
[...]
Norman Adi Satria: Mengapa merasa sudah bersatu setelah mendepak bagian dari persatuan?
[...]
Norman Adi Satria: "Masa sih kamu begitu mudahnya percaya berita hoax bahwa aku tidak lagi mencintaimu?" kata pejabat yang baru beberapa tahun jadian dengan rakyatnya.
[...]
WS Rendra: Kepada kamu aku bertanya: mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan, apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?
[...]
WS Rendra: Janganlah kita menunggu Ratu Adil. Ratu Adil bukanlah orang. Ratu Adil bukanlah lembaga. Ratu Adil adalah.....
[...]
Norman Adi Satria: situasi ini sesungguhnya adalah imbas dari situASU
[...]
Joko Pinurbo: Selamat tinggal, negara. Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara. Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.
[...]
Norman Adi Satria: Soto dan kuah soto, tak bisa dipisahkan! Menghina kuah soto, sama dengan menghina sotonya!
[...]
Norman Adi Satria: Mana yang lebih menggelisahkan: Pemimpin Non-Agama (tertentu) atau Agama (tertentu) Non-Pemimpin?
[...]
Norman Adi Satria: Bukankah belajar seharusnya menjadikan kita pinter? Kok malah ujungnya jadi Hater?
[...]
WS Rendra: Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan, asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya. Ini selalu menarik seorang menteri.
[...]
WS Rendra: Ia bicara panjang lebar kepadamu tentang perjuangan nusa bangsa dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal ia sebut kau inspirasi revolusi sambil ia buka kutangmu.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi.
[...]
Norman Adi Satria: Mereka sudah muak dengan keadaan. Mereka keracunan janji-janji kesejahteraan.
[...]
Norman Adi Satria: Belajar memahami kata-kata: "Apakah kita siap untuk hidup sederhana?" Itu artinya kita harus siap nelangsa!
[...]
WS Rendra: Ada janda kembang. Ia buntung, tak jelas lelakinya. Para tetangganya bernyanyi menyindir-nyindir setiap hari. Lalu kepala desa datang menghibur, tapi tak urung menidurinya juga.
[...]
Remy Sylado: Puri-puri mereka bakal direbut semua satu demi satu oleh orang-orang yang menanggung pemiskinan bertahun.
[...]
WS Rendra: Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi!
[...]
Remy Sylado: Jangan menjatuhkan, nanti dijatuhkan.
[...]
WS Rendra: Manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Spanyol dan Amerika Serikat itu hanya bersandiwara perang. Hanya sandiwara bagaimana Spanyol menjual bangsa Filipina kepada Amerika Serikat tanpa harus kehilangan muka di dunia internasional.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Filipina murid yang baik Spanyol. Dan Spanyol guru buruk, malah busuk bagi Filipina.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji.
[...]
Joko Pinurbo: Saya sudah menyiapkan semua yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata, suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti.
[...]
Joko Pinurbo: Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
[...]
Wiji Thukul: Ayo gabung ke kami, biar jadi mimpi buruk presiden!
[...]
Wiji Thukul: Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya.
[...]
Wiji Thukul: Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato, kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Bicara soal organisasi adalah bicara tentang kepentingan bersama, bukan untuk menjadi nabi atas sesamanya.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat dan korup.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Siapa dapat ramalkan bagaimana bakal jadinya bayi? Jadi nabi atau bajingan, atau sekedar jadi tambahan isi dunia, polos, tanpa apa-apa?
[...]
Norman Adi Satria: Lama kelamaan kau jadi kebiasaan, senang dema demo karena hobi.
[...]
WS Rendra: Kadang-kadang mereka anti demostrasi. Kadang-kadang mereka menggerakkan demonstrasi.
[...]
WS Rendra: Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
[...]
WS Rendra: Jakarta menjadi lautan api. Mayat menjadi arang. Mayat hanyut di kali.
[...]
WS Rendra: Bagaikan gajah para pejabat menguasai semua rumput dan daun-daunan.
[...]
Gus Mus: Di negeri amplop, amplop-amplop mengamplop apa saja dan siapa saja
[...]
Norman Adi Satria: Ada yang tugasnya "ngadem-ngademke ati" rakyat dengan tuturnya yang santun gayanya yang bersahaja. Tapi dia bukan di pihak rakyat, melainkan komplotan keparat.
[...]
Remy Sylado: Lapar telah menghilangkan sopan santunku. Maaf aku
kira darah dagingku belum merdeka. Lupa
pekiknya telah bertahun kuucapkan.
[...]
WS Rendra: Tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu tentang dirimu.
Tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani.
[...]
(WS Rendra) : Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
[...]
Norman AdI Satria: Sebagai wartawan, saya lebih banyak bertanya daripada menuliskan berita. Karena di ini negeri berita adalah sari yang sudah disaring
dalam saringan bungkam yang celahnya kecil sekali.
[...]
Norman Adi Satria: Raja berkata dalam hati: "Citraku selamat, meski dengan dana hemat."
[...]
Norman Adi Satria: "Wajahku Photoshopgenik." Bagusnya setelah diedit saja
[...]
Norman Adi Satria: Kulihat koruptor sedang membagi-bagi hasil korupsi. Dibelikannya rumah untuk istri keduanya. "Nak, itu jatah makan kita pagi dan siang ini."
[...]