Puisi Kehidupan Rakyat Miskin
Kumpulan Puisi Realitas Kehidupan Rakyat Miskin di Indonesia 2016.
Wiji Thukul: Bulan malam menggigit batinku. Mulutnya lembut seperti pendeta tua mengulurkan lontaran nasibmu.
[...]
Wiji Thukul: Apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka? Ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa?
[...]
Wiji Thukul: Jangan lupa, kekasihku. Jika kau ditanya siapa mertuamu, jawablah: yang menarik becak itu. Itu bapakmu, kekasihku.
[...]
Norman Adi Satria: Jangankan anak-anak, kulkas, tv, mesin cuci, setrika, bpkb motor, handphone china, dan cincin kawin pun kami sekolahkan, setinggi-tingginya.
[...]
Norman Adi Satria: Apakah jalanan telah menghinakan kami? Apakah memusnahkan kami memuliakanmu?
[...]
Widjayanti Ning Tyas: Mereka terus menerka tanya. Apakah harga BBM naik lagi? Risau orang miskin memecah sunyi.
[...]
Wiji Thukul: Puskesmas itu demokratis sekali, pikirku: sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam, tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
[...]
Norman Adi Satria: Ketika kesederhanaan dirumuskan, seketika kesederhanaan tak lagi sesederhana itu.
[...]
Wiji Thukul: Jangan takut lapar, nak! Kota adalah gudang pangan, bebas digenggam siapa pun yang tega hati.
[...]
Wiji Thukul: Kota ini milik kalian, kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu: jangan!
[...]
Wiji Thukul: Hari ini aku mimpi buruk lagi: seekor burung kecil menanti induknya di dalam sarangnya yang gemeretak dimakan sapi.
[...]
Wiji Thukul: Tengah malam biji karambol gemetar itu berdebar-debar menebak kapan datang tangan itu menyentil tubuhnya.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu.
[...]
Wiji Thukul: Seorang kawan kita mati terkapar. Mati ditembak, mayatnya dibuang. Kepalanya koyak, darahnya mengental dalam selokan.
[...]
WS Rendra: Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri.
[...]
WS Rendra: Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.
[...]
Osram: Sapi kurus kering jangan keburu diperah. Ambil sabit carikan dulu rumput baginya!
[...]
Toto S. Bachtiar: Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil. Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka.
[...]
Toto S. Bachtiar: O, kota kekasih. Tekankan aku pada pusat hatimu di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu.
[...]
Wiji Thukul: Derita sudah naik seleher. Kau menindas sampai di luar batas.
[...]
Norman Adi Satria: Duit recehan itu berbaris satu per satu, salim dan sungkem kepada tanggal yang kian uzur dan keriput.
[...]
Norman Adi Satria: Kebaikan telah membuat papamu kaya raya, punya mobil mewah. Besok kita pelesir ke Jogja lalu ke Bali. Minggu depan kita ke Disneyland.
[...]
Wiji Thukul: Siapa tahu kita telah membusuk diam-diam.
[...]
Wiji Thukul: Derita sudah matang, bung, bahkan busuk.
[...]
Wiji Thukul: Partai politik, omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang. Bubarkan saja itu komedi gombal.
[...]
Wiji Thukul: Lapar memang memalukan! Tiba-tiba aku mendengar jutaan nyawa saudaraku yang karena lapar menjadi copet, lonte, dan gelandangan.
[...]
Wiji Thukul: Seekor kucing kurus menggondol ikan asin laukku untuk siang ini. Aku meloncat, kuraih pisau, biar kubacok dia, biar mampus!
[...]
Wiji Thukul: Aku akan bersiul-siul memproklamasikan kemerdekaanku. Aku akan dan bernyanyi sekeras-kerasnya. Pemilu oo... pilu, pilu.
[...]
Wiji Thukul: Lampu butuh menyala, menyala butuh minyak. Perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi. Namun bapak cuma abang becak!
[...]
Wiji Thukul: Di pinggir jalan berdiri toko-toko baru dan macam-macam bangunan. Kampung kami di belakangnya, riuh dan berjubel seperti kutu kere kumal.
[...]
Wiji Thukul: Lingkungan kita si mulut besar. Sakit perut dan terus berak, mencret oli dan logam, busa dan plastik.
[...]
Wiji Thukul: Jika kautahan kata-katamu, kau akan diperlakukan seperti batu, dibuang, dipungut. Atau dicabut seperti rumput. Atau menganga, diisi apa saja menerima.
[...]
Wiji Thukul: Sandal jepit dan ubin mengkilat. Betapa jauh jarak kami. Uang sepuluh ribu di sakuku, di sini hanya dapat dua buku. Untuk keluargaku cukup buat makan seminggu.
[...]
Wiji Thukul: Pulanglah, Nang. Jangan dolanan sama Si Kuncung. Si Kuncung memang nakal, nanti bajumu kotor lagi disirami air selokan. Pulanglah, Nang. Nanti kamu menangis lagi.
[...]
Norman Adi Satria: Kerja 'serabut'an jangan berharap dapat 'tunjang'an, yang ada nasib kita di'gantung'kan.
[...]
Norman Adi Satria: "Masa sih kamu begitu mudahnya percaya berita hoax bahwa aku tidak lagi mencintaimu?" kata pejabat yang baru beberapa tahun jadian dengan rakyatnya.
[...]
WS Rendra: Kepada kamu aku bertanya: mentang-mentang kamu bisa beli perlindungan, apakah kamu merasa berada di atas undang-undang?
[...]
WS Rendra: Janganlah kita menunggu Ratu Adil. Ratu Adil bukanlah orang. Ratu Adil bukanlah lembaga. Ratu Adil adalah.....
[...]
Norman Adi Satria: Katanya negeri kita negara berkembang. Tapi, mana kembangnya? mana putiknya? mana serbuk sarinya?
[...]
Sapardi Djoko Damono: Rumahku akan dibongkar, tetapi kamarku tetap ada di sana.
[...]
WS Rendra: Wahai, sayap terbakar dan gulita pada mata. Orang buangan tak bisa lunak oleh kata.
[...]
WS Rendra: Ia bicara panjang lebar kepadamu tentang perjuangan nusa bangsa dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal ia sebut kau inspirasi revolusi sambil ia buka kutangmu.
[...]
Sapardi Djoko Damono: Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi.
[...]
Norman Adi Satria: Mereka sudah muak dengan keadaan. Mereka keracunan janji-janji kesejahteraan.
[...]
Remy Sylado: Puri-puri mereka bakal direbut semua satu demi satu oleh orang-orang yang menanggung pemiskinan bertahun.
[...]
WS Rendra: Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi!
[...]
Remy Sylado: Seperti permata yang digosok dari cuma batu, kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan.
[...]
WS Rendra: Manusia tak mungkin menjadi manusia tanpa dihidupkan hati nuraninya.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Filipina murid yang baik Spanyol. Dan Spanyol guru buruk, malah busuk bagi Filipina.
[...]
Pramoedya Ananta Toer: Dengan ilmu pengetahuan modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin keji.
[...]