Puisi Cinta
Kumpulan Puisi Cinta Terbaik dan Paling Romantis Sepanjang Masa.
Norman Adi Satria: Jauh sebelum kita bertemu, aku sudah punya rindu.
[...]
Norman Adi Satria: Benangmu telah lama habis, tapi kau masih menusuk-nusukkan jarum itu di lukaku.
[...]
Norman Adi Satria: Keromantisan itu bukan terletak pada apa yang kulakukan, tapi bagaimana caramu memaknainya.
[...]
Norman Adi Satria: Dan ketika apiku mati, barulah kehadiranku kamu renungi.
[...]
Norman Adi Satria: Ciee, Tuhan.. Bisa aja bikin kisahnya.
[...]
Norman Adi Satria: Kau mulai merindukan monster ini. Bahkan dalam tidurmu kau mulai memimpikanku. Entah sebagai mimpi indah atau mimpi buruk.
[...]
Norman Adi Satria: Ketika cita-citaku adalah kamu, aku sadar bahwa memilikimu bukanlah titik akhir pencapaian.
[...]
Wahyu Arsyad: Ia menangis, juga merindukan hari penyesalannya. Hari ia lepas keperawan...
[...]
Norman Adi Satria: Mengapa yang bukan siapa-siapa itu bisa semenyakitkan ini?
[...]
Norman Adi Satria: “Baru kali ini aku tersenyum lagi,” ucapmu, “saat kamu mulai peduli pada lukaku.”
[...]
Norman Adi Satria: Aku tak peduli cintamu hanya sandiwara sebab hatiku memang sebuah panggung!
[...]
Norman Adi Satria: Hanya yang paling mencintai yang bisa seluka ini.
[...]
Norman Adi Satria: Malam ini kubiarkan namamu sendirian di puisi.
[...]
Norman Adi Satria: Kita sama-sama lelaki. Bertanya “apa kabar?” dilanjutkan dengan “udah makan belum?”, itu siasat basi!
[...]
Norman Adi Satria: Dengan tidak menjadikannya selingkuhan, aku membuatnya tetap menjadi perempuan baik-baik.
[...]
Norman Adi Satria: Istriku, aku tak ingin ngacengku melukaimu. Aku tak ingin kau yang ikeh-ikeh namun mereka yang kimochi.
[...]
Norman Adi Satria: Penyair tak pernah menulis kamu yang benar-benar kamu, Nona.
[...]
Norman Adi Satria: Meski kita menjalaninya berdua, kenangan kita tak mesti sama. Contohnya luka ini.
[...]
Norman Adi Satria: Kisah cinta kita dimulai dengan sangat sederhana. Ketika itu plastik gorenganku koyak. Tempe mendoan, dages, dan tahu brontak jatuh berserak.
[...]
Norman Adi Satria: Lebih baik tidak tahu masa lalu pasanganmu atau kau harus benar-benar menerima segala yang ingin dilupakannya
[...]
Norman Adi Satria: Begitu banyak identitas temporal yang kita sandang sehari-hari, termasuk sebagai pendukung Prabowo atau Jokowi. Sayangnya kita kerap lupa identitas permanen yang kita sandang: sebagai manusia, sebagai bangsa.
[...]
Norman Adi Satria: Dulu aku orang yang tak kenal lelah. Tapi kemudian kamu kenalkan, "Nih, kenalin si lelah."
[...]
Norman Adi Satria: Sepuluh tahun lalu ku-add friend gadis-gadis Facebook yang cantik jelita dan bohay itu. Barangkali ada yang kecantol satu.
[...]
Bertahun bersama, baru kini kutahu suamiku tak pernah mencintai aku.
[...]
Aku hanya tangga darurat tatkala lift asmaramu dengannya sedang macet.
[...]
Norman Adi Satria: Kau takkan bisa menggantikan si hilang itu karena untuk menjadi seperti dirinya pada akhirnya kau harus menghilang juga.
[...]
Norman Adi Satria: Dulu ketika aku melukaimu, kamu menangis di pundak siapa?
[...]
Norman Adi Satria: Jika Tuhan mengizinkan kita bertemu lagi, aku hanya ingin bertanya padamu...
[...]
Norman Adi Satria: Satu-satunya yang ia mengerti: ia mencintai penyair ini bukan karena puisi
[...]
Norman Adi Satria: Konsekuensi dari yang tak terhitung adalah akan banyak yang terlupakan.
[...]
Norman Adi Satria: Ada tulang yang patah tengah malam dan pagi telah menjadi kamu.
[...]
Norman Adi Satria: Pada akhirnya aku belajar pada para oknum pejabat dan politikus: menghalalkan segala cara untuk melupakanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Ini bukan soal darah dari selaput dara yang pecah namun tentang kesucian yang mesti kau jaga sebagai anugerah.
[...]
La Ode Muhammad Jannatun: Sebelum lupamu benar-benar berlalu. Sebelum akhirnya namaku menjadi abu.
[...]
Norman Adi Satria: Sudah kuduga, usai kau bertanya apa kabar dan kujawab baik-baik saja, kau bakal berairmata.
[...]
Norman Adi Satria: Aku telah kehilanganmu. Haruskah aku kehilangan bayangmu pula?
[...]
Norman Adi Satria: Jangan tanyakan pada bibirku. Selamanya ia akan mengutuki kepergianmu. Jangan tanyakan pada kakiku. Selamanya ia akan menolak menempuhi jalanmu.
[...]
Norman Adi Satria: Mengucap terserah adalah hak wanita yang paling asasi dan peka adalah kewajiban lelaki yang paling hakiki.
[...]
Norman Adi Satria: Kau ikeh ikeh sebelum kimochi.
[...]
Norman Adi Satria: Sesungguhnya aku pun tidak tahu pasti harus disebut apa kamu ini, protagonis namun selalu menyakiti.
[...]
Nuriman N. Bayan: Kau adalah puisi, yang tak sempat kutulis dari sekian imaji yang tumpah dalam sajak.
[...]
Norman Adi Satria: Persinggahan itu kini telah menjadi pulangmu. Sedang aku di sini masih menganggapmu pergi.
[...]
Norman Adi Satria: Suamiku ini penyair KW berapa sebenarnya? Makin banyak bikin puisi malah makin sengsara?
[...]
Norman Adi Satria: Apakah tentang segalamu aku tak boleh lagi, semacam dukacitamu yang tak usah lagi kutangisi, seperti doamu yang jangan sampai kuamini?
[...]
Indra Lesmana: Meskipun terluka berpuluh kali aku akan tetap seperti ini padamu. Namun jangan sampai otakmu punah dibuatnya.
[...]
Kiaara: Selamat malam, bulanku, muara sajak tertimbunku. Detik ini, percayamu berjeda. Pun percayaku jadi angkara.
[...]
Wiji Thukul: Karena sekarang aku buron diburu penguasa karena aku beroganisasi.
[...]
Norman Adi Satria: Muntah lagi pagi ini ingat kelakuan seorang lelaki. "Biadab!" teriak vaginamu.
[...]
Norman Adi Satria: Pergilah! Dan tak usah mudik! Aku bukan kampung halaman.
[...]
Norman Adi Satria: Rugi rasanya, sudah hilang perawan, lagi haid diembat juga, sekarang menyalahkan orang lain dan keadaan atas janji yang tak bisa diwujudkan.
[...]