Tulisan Karya Ir. Soekarno: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme
Karya: Ir. Soekarno (Bung Karno)
Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya.
Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini ialah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini ialah “wertbildende Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budiakal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya” (materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaanperusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendamhati yang makin lama makin sangat (Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya, di antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe B l a n q u i dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli fikir lain, dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum “atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang melarat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, – bahwa kaum “burjuasi” itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sungsumnya kaum buruh di Eropah, masuk pula tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”. Sebagai tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale”, yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah haibatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur …
Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, – sebagai yang sudah kita terangkan di muka, – menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya: Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komunisme itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”?
Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki fihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “bersekutuan” dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.
Demikianlah dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti dan saling tidak mengindahkan.
Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.
Komentar