Sajak Yudistira dalam Fragmen Mahabharata – Norman Adi Satria
Karya: Norman Adi Satria
YUDISTIRA DALAM FRAGMEN MAHABHARATA
Karya: Norman Adi Satria
Ini tahun ke tiga belas dalam masa pembuangan.
Yudistira terenyak menyaksikan dua saudara sekandungnya mati,
tergeletak di pekat hutan dalam terik siang.
Bima dan Arjuna,
Putera Pandu dan Ibu Kunti.
Diamatinya,
Yudistira tak menemukan sedikitpun luka petempuran
dari kedua ksatria tangguh itu.
Selemparan batu,
Yudistira menemukan dua saudaranya lagi,
Nakula dan Sadewa.
Seayah berbeda ibu,
mereka putera Madrim.
Dalam diam
Yudistira mendengar suara,
“Mereka mati terkena kutuk.
Tulah kematian bagi peminum air telaga terlarang.”
Mengapa mereka meminum air telaga itu?
Atau mengapa telaga itu terlarang?
Bukankah di bumi ini segala air menyejukkan dan melepas dahaga?
Bukan malah melepas nyawa,
Nyawa dari keempat saudara seayahku pula?
Beraneka tanya berkecambuk di benak Yudistira.
Suara gaib itu terdengar kembali,
“Kau hanya punya satu pilihan,
yaitu memilih satu saja dari keempat adikmu,
yang akan kembali dihidupkan.
Siapa yang kau pilih, Yudistira?”
Yudistira menelan ludah,
Ini pilihan sulit,
Keempatnya tak ada yang tak ia cintai.
Beberapa saat kemudian Yudistira menjawab : Nakula!
Suara gaib itu terheran,
“Nakula?
Bukan Bima yang begitu kau sayangi,
yang punya kekuatan setara sepuluh gajah itu?
Bukan pula Arjuna, ksatria pemanah terhebat itu?”
Yudistira meyakinkan diri untuk menjawab,
“Bukan.
Aku telah lama belajar,
dan aku memperoleh pemahaman,
bahwa yang melindungi manusia bukanlah senjata maupun kekuatan,
namun Dharma, kebajikan, kemurnian jiwa.
Nakula yang kupilih,
karena aku putera Kunthi,
aku ingin salah satu putera Madrim hidup pula sepertiku.”
Suara gaib itu menghilang setelah mendengar jawaban itu,
lalu menjelma menjadi Batara Yama.
Sang Dewa Maut itu memeluk Yudistira dengan kagumnya,
“Kata-katamu telah menyentuh seluruh penghuni Kahyangan.”
Batara Yama menengadahkan tangan,
angin mengepung seantero hutan,
burung-burung beterbangan,
Nakula terbangun dari kematian.
Beberapa saat kemudian,
dengan mata kepalanya sendiri,
Yudistira melihat
ketiga saudaranya yang lain turut dibangkitkan.
Bekasi, 19 Januari 2013
Norman Adi Satria
Reblogged this on Puisi Si Cantik and commented:
Yudistira meyakinkan diri untuk menjawab,
“Bukan.
Aku telah lama belajar,
dan aku memperoleh pemahaman,
bahwa yang melindungi manusia bukanlah senjata maupun kekuatan,
namun Dharma, kebajikan, kemurnian jiwa.
Nakula yang kupilih,
karena aku putera Kunthi,
aku ingin salah satu putera Madrim hidup pula sepertiku.”
SukaSuka
Reblogged this on nontonpuisi and commented:
Ini tahun ke tiga belas dalam masa pembuangan.
Yudistira terenyak menyaksikan dua saudara sekandungnya mati,
tergeletak di pekat hutan dalam terik siang.
Bima dan Arjuna,
Putera Pandu dan Ibu Kunti.
ADVERTISEMENT
Diamatinya,
Yudistira tak menemukan sedikitpun luka petempuran
dari kedua ksatria tangguh itu.
SukaSuka
Reblogged this on Puisi Asmara Cinta and commented:
Mengapa mereka meminum air telaga itu?
Atau mengapa telaga itu terlarang?
Bukankah di bumi ini segala air menyejukkan dan melepas dahaga?
Bukan malah melepas nyawa,
Nyawa dari keempat saudara seayahku pula?
Beraneka tanya berkecambuk di benak Yudistira.
SukaSuka
Reblogged this on standupuisi.
SukaSuka
Sang “hikmat” pemberi hidup…
SukaSuka