SAJAK RENUNGAN TANAH
Karya : Norman Adi Satria

Ketika usiaku 5 tahun, setiap kali melintas di persimpangan jalan menuju rumah,
Ayah selalu berujar, “Jangan terlalu dekat, dia orang gila!”
Ayah berkisah, sejak aku ada dalam kandungan,
lelaki beruban itu selalu duduk di tepi jalan sambil menggengam tanah.

Tiap tahun selalu sama, lelaki tua itu tak beranjak dari tempat duduknya.
Rambutnya kian panjang dan lusuh, beberapa kerutan bergiliran mampir di raut wajahnya.

Menginjak usia ke-17, aku masih melihatnya dengan posisi yang sama.
Aku memberanikan diri untuk mendekat dan memulai percakapan.
“Pak, bapak sedang apa?” kataku ragu.
Dia menoleh lambat, mungkin badannya telah lama tak digerakkan.
“Aku tengah mencari sesuatu.” jawabnya.
Aku dibuatnya bingung.
Apa yang dia cari dalam tidak melakukan apapun kecuali duduk dan berpikir?

Bapak tua itu menyodorkan tanah di dalam genggamannya.
“Aku tengah mencari hakikat tanah,” jawabnya.
“Tanah yang darinya leluhur manusia tercipta, tanah yang di atasnya manusia berpijak,
tanah yang dalam bentuknya manusia akan kembali.” lanjutnya.
Aku berjalan mundur dan melangkah pergi.
Dalam hatiku aku membenarkan ucapan Ayah dulu:
dia memang benar-benar gila.

Sesampainya di rumah, aku menemukan segenggam tanah di atas mejaku,
tersimpan di dalam toples kaca. Aku merinding melihatnya.
Aku mengambilnya dan berlari ke tikungan, namun lelaki tua itu telah tiada.
Dalam ketakutan aku kembali ke rumah dan membuka pintu kamar Ayah.
Aku melihat Ayah tengah bersila dan memeluk toples kaca berisi tanah.

“Ayah, sebenarnya apa ini?” tanyaku dalam kengerian.
“Ada kalanya kita harus merenungkan segenggam tanah.” jawabnya.
“Ayah bilang itu perbuatan orang gila?” tanyaku.
“Kita akan di anggap gila di antara manusia yang tak pernah merenung.
Aku tak pernah mengira kau akan terpilih juga menjadi seorang perenung.” jawabnya.
“Namun mengapa harus tanah?” tanyaku.
“Jika kau tak mampu merenungkan tanah,
bagaimana kau akan merenungkan air, dan tanah air?” jawabnya.

Tanpa kusadari aku tengah bersila,
merenungkan tanah,
esoknya aku merenungkan air,
dan kini tanah air.

Bekasi, 17 November 2012
Norman Adi Satria